Friday, September 10, 2010

Jack of all traders...

Di awal-awal masa kuliah, gue pernah diramal.
Perlamalnya masih muda, seumuran gue pada saat itu mungkin, dan tampak seperti cewe biasa pada umumnya. Namun entah kenapa, dari sekian seringnya gue di ramal, bahkan oleh yang tampangnya seperti Alm. Mama Loren pun, kata-kata cewe inilah yang paling nyangkut di kepala gue.

Yang pertama dia bilang sama gue adalah, bahwa gue susah banget diramal, karena jiwa gue kosong.
Bused. Jiwa gue kosong? Serem amat.
Hati gue juga kosong, katanya. Karena gue lagi jauh sama Tuhan, dan lagi nggak punya tujuan hidup. Gue lagi depresi.
Bener juga sih, waktu itu gue lagi patah hati, dan kuliah di Sastra membuka pengetahuan gue atas kenyataan-kenyataan hidup yang pahit. Padahal saat itu gue belom siap untuk mengetahui kenyataan-kenyataan itu. Gue masih seru bermain-main dalam lakon komedi dan dongeng-dongeng yang biasanya berakhir dengan happy ending, bukan drama tragedi. Rasanya seperti di film The Matrix, pilih pil merah atau biru? Hehehe...

Satu hal lagi yang gue inget banget dari apa yang dia bilang adalah, bahwa ada sedikit masalah dalam karir gue.
Dia bilang, gue punya banyak bakat. Gue bisa melakukan apa aja dengan baik, dan kebetulan, jalannya selalu ada. Sayangnya, gue rakus. Gue mau melakukan semuanya, jadi apapun yang gue lakukan jadinya setengah-setengah. Nggak total. Gue jack of all traders, but an expert of none. Glek.

Si peramal cuma ngasih satu saran. Temuin satu passion lo dan lakukan dengan total, lalu dekatkan diri lo sama Tuhan. Keadaan lo mengkhawatirkan, dia bilang.

Sekarang, setelah gue pikir-pikir, dia bener juga yah. Terutama bagian karir. Banyak yg gue lakukan, tapi semuanya mentok.
Nyanyi... mentok.
Nulis... mentok.
Modelling... well, emang gak pernah sih....
Ngajar... nggak mentok mentok amat sih, tapi saat ini satu hal yg bikin frustrasi adalah... gue belom berhasil juga buat ngelanjutin kuliah gue. Untuk bisa mengajar dengan lebih baik, gue juga harus sekolah lagi. Kalo nggak, ya ngajar gue akan mentok juga! Saat ini masih menunggu pengumuman hasil seleksi wawancara kemarin, tapi entah kenapa gue nggak mao berharap banyak, mungkin karena saking seringnya ditolak, hehehe.

Apapun yang gue lakukan saat ini, gue merasa nggak gue lakukan dengan maksimal. Padahal, gue tau jalannya selalu ada buat gue, seandainya aja gue bener-bener maksimal atas satu hal.
Nyanyi misalnya. Kalau memang gue niat meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk merekan lagu-lagu yang gue tulis, dan lebih niat belajar main gitar, pasti album solo udah di depan mata. Semua orang udah niat membantu, bahkan rela nggak dibayar sekalipun. Jalannya ada. Yang nggak ada: waktunya. Tapi gue tau itu cuma alesan gue aja. Gue rasa gue masih belom pede aja.

Nulis adalah passion terbesar gue yang bertahan paling lama. Bahkan sampai sekarang. Tapi bisa dibilang passion yang nggak pernah bener-bener gue lakukan dan gue asah lagi beberapa tahun belakangan ini. Padahal dulu, waktu masih sering-seringnya nulis, terutama fiksi, karya-karya gue sering dipublikasikan. Cerpen-cerpen gue masuk majalah, puisi gue masuk buku antologi, dll. Dan lewat tulisan-tulisan itu pula gue pernah menang sayembara dan dapet beasiswa kursus menulis kreatif.
Entah kenapa, satu kritikan tajam bikin gue tumbang. Ternyata gue nggak sekuat tulisan-tulisan gue. Jadi penulis itu berat, apalagi kalau tema-tema yang ditulis cenderung menantang pemikiran-pemikiran mainstream. Butuh waktu lama buat gue untuk bisa bangun dari kritikan. Padahal, bagi seorang penulis, menghadapi kritikan itu harusnya sudah jadi makanan sehari-hari. Mungkin gue terlalu mensakralkan karya-karya gue. Mereka seperti anak-anak gue. Jadi, ketika satu dari sepuluh orang bilang kalo karya gue itu sampah, gue sedihnya bukan main. Padahal, sembilan yang lain bilang bagus. Harusnya sih gue nggak boleh seperti itu. Gue selalu bisa terima kritikan membangun kok, tapi kadang-kadang, ada aja yang ngritik nyampah. Harusnya sih, cukup bilang ya sudah. Nggak apa-apa. Tokh karya itu sudah jadi milik publik ketika dilempar ke pembaca. Tapi mungkin gue tipe 'ibu' yang nggak rela 'anak-anak'nya pergi dari rumah.
Tumbanglah semangat gue nulis. Sesimpel itu. Semudah itu gue jatuh. Gue nggak total. Tapi kalau boleh jujur, menulis masih jadi mimpi gue. Gue pasti bangun lagi.

Teaching. Passion gue yang paling baru, tapi paling konsisten. Ini karir yang paling cocok buat gue. Lahan pekerjaannya selalu ada. Gajinya lumayan. Waktu kerjanya fleksibel. Gue emang nggak bisa bekerja 24/7, gue selalu stress dan ngomel-ngomel setiap kerja kantoran. Melihat kefleksibilitasan waktunya, ngajar memang paling cocok. Apalagi, gue punya 3 bulan paid-holiday (jealous?) Hehehe... Tapi lebih dari itu, ngajar lah yang benar-benar membuat gue merasa hidup gue berarti dan nggak sia-sia. Walaupun gajinya nggak sebesar gaji orang yang kerja di perusahaan minyak, tapi setidaknya, gue merasa memberikan sesuatu yg berguna untuk orang lain. Dan senyum murid-murid gue saat bilang "thank you" jauuuuhhh lebih rewarding dari gaji setinggi apapun buat gue.
Tapi gue tau ini aja nggak cukup. Nggak cukup hanya mengajar bahasa, gue harus mengajar yang lain.. yang secara langsung bisa merubah pola pikir anak-anak di kelas gue. Gue harus mengajar sesuatu yang bisa membuat mereka tercerahkan, seperti apa yang gue alamin dulu waktu kuliah. Gue bener-bener menikmati indahnya ilmu pengetahuan.
Untuk itu, gue harus kuliah lagi. Dan urusan kuliah ini lah yang mentok. Tiap tahun gue selalu berkata hal yang sama: "tahun depan gue harus kuliah!", tapi nggak pernah kejadian. Selalu kepentok masalah ekonomi dan timing. Menyedihkan.

Jujur. Pengalaman nggak merubah gue. Gue masih rakus, mau melakukan semuanya. Masih the jack of all traders and an expert of none. Apa salahnya kalau memang passion kita banyak? Saat ini, justru passion-passion gue itulah yang bikin hati dan jiwa gue nggak kosong lagi.

Labels: , ,

Hello, Blog. How are you?

I know, I know. I've been such a bad blogger. Blame it all on twitter. I've got almost no reply in multiply now. But I know. No excuse. I shall keep my love for blogging no matter what. And multiply is the most comfortable place, as you can stalk the people who read your blog :-p

Anyway... So what's up life?
I remembered that I promised to blog every single day of my Vietnam trip in January, but it only lasted until the 2nd day. Arrgghh... now for this one blame it on me. I'm just lazy. And you know what, I went to Vietnam again! Hell yeah, I went traveling for a month this summer, starting from Kuala Lumpur, and then I flew to Bangkok... From Bangkok I traveled overland -solo and hobo style- to Hanoi. Crossing northen Laos.

It was amazing. A journey of a lifetime. And it's not because of the scenery or landmarks etc (Indonesia is still prettier, trust me) It's just because the things that I experienced there. Not everything is pretty. At some part of my travel I really lived like a refugee. I almost got arrested in Vientiane, I went hitchin-a-ride in Vieng Xai, met a group of American traveling musician, and stayed in a hippie refugee camp owned by a hippie Israeli, etc. See, not everything is pretty.

But nothing is more rewarding than drinking beers with friendly Laotians, sharing Dji Sam Soe with new American friends, and awed by the scenic beauty of the hills in Vieng Xai (literally in the middle of nowhere) on the way to Sam Neua (also in the middle of nowhere) from the bunk of a pick-up truck running 90km/h- with steep scary cliff only a metre away.

Traveling helps me see my life from a different point of view. Realizing that everything, anything, can happen to you everywhere and at any time. And the fact that you're alone, completely alone, and far away from home is another thing. Suddenly you gained a new super power: surviving. Yeah, it's not just a holiday. At some point I even told myself "WHAT ARE YOU GET YOURSELF INTO, THERA???"

But you know what? Ever since, I learned not to take life for granted anymore, including things that you used to hate, like Jakarta and its traffic jam.

Moreover, the trip helped me understand myslef more then ever. I realized what I really want to do in life. I realized how much my life is worth. And I'm thankful, sincerely thankful for every precious second. It's such an amazing life we live i. Make the most of it. See the world. Seize it.

And hell yeah, I'm so goddamn proud of myself. I actually did it!

I'll blog the details! I promise!
Hello, Blog! I'm back!

Labels: , , ,

Sunday, September 13, 2009

Dokter juga manusia

.
.
.
.
.
Kasihan bokap gue... 

Siang ini dia pulang dengan wajah lesu, lalu curhat sama mama. Ternyata, pasien yang sedang ditanganinya hari ini meninggal dunia. Mama tanya balik dengan santai, "tapi nggak di meja operasi kan?" (PS. bokap gw adalah dokter bedah umum). Papa hanya menggeleng dalam kebisuannya. "Bagus dong," kata mama enteng, "jadi kamu nggak bisa disalahin."

Papa hanya terdiam. Sebentar menyalakan marlboro merahnya dan menyambung, "Atau justru saya yang dosa. Karena nggak ngoprasi dia."

"Nggak lah!" mama membela dengan tegas. Seperti biasa, selalu berusaha agar papa merasa lebih enak setiap ada kejadian sejenis.

Rupanya, pasien tersebut memang sakit parah dan kecil kemungkinannya untuk bertahan. Hanya ada dua pilihan, dioperasi dan masih ada kemungkinan kecil untuk hidup, atau tidak dioperasi dan sama sekali tidak ada kemungkinan untuk hidup. Dioperasi pun sangat beresiko, tinggi kemungkinan meninggal di meja operasi karena kondisi pasien yang sudah sangat lemah. Sedikit saja kesalahan di meja operasi atau sebentar saja kondisi pasien mendadak tidak stabil, nyawa sang pasien melayang. Tapi, ya.. kalau tidak dioperasi, sang pasien bisa dipastikan 99% akan meninggal.

Meskipun prosedur sebelum operasi mensyaratkan surat izin operasi dari pihak keluarga, tapi tetap saja... kalau terjadi apa-apa di meja operasi, bagi pihak keluarga yang merasa kehilangan, mengucapkan kata malpraktek baik secara legal maupun bisik-bisik tetangga sangatlah mudah. 

Papa berani mengambil resiko untuk membawa sang pasien ke meja operasi, karena papa tahu, itu satu-satunya jalan untuk memberikan kesempatan hidup bagi pasiennya. Tapi rupanya dokter anesthesi berbeda paham dengan papa. Beliau menolak untuk membawa pasien ke meja operasi, karena resiko meninggal di atas meja operasi terlalu tinggi. Tentu saja, dokter anesthesi tidak mau mengambil resiko apapun, termasuk dituduh malpraktek, dan memilih membiarkan pasien berjuang seorang diri tanpa operasi. Ya, memang itu menyalahi kode etik kedokteran, tapi... gue sama sekali tidak menyalahkan dokter anesthesi itu. Karena, kalau sudah kena tuduhan malpraktek, bukan hanya kehilangan pekerjaan, dokter bisa juga sama sekali tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi di rumah sakit manapun, dan tidak bisa menghidupi keluarganya. Dokter anesthesi itu rupanya lebih memegang "kode etik" berkeluarga. Tidak apa, itu hak dia.

Akhirnya? Pasien meninggal dunia siang ini. Dokter-dokter aman dari resiko tuduhan malpraktek karena tidak membawa pasien ke meja operasi. Dan papaku bersedih hati, karena tahu sebenarnya masih ada kesempatan yang bisa diambil untuk menyelamatkan nyawa yang dilewatkan begitu saja, hanya karena dokter-dokter lainnya takut dituduh malpraktek. Walaupun kecil sekali, tapi kesempatan itu sebenarnya ada. Papa adalah orang yang selalu berusaha mengejar sesuatu setiap ada kesempatan, sekecil apapun kemungkinannya (dengan prinsip hidup seperti inilah papa berhasil menyelamatkan banyak nyawa, dan dengan prinsip inilah papa berhasil dapetin mama... si kembang kampus tetangga)


Ada ratusan hal yang bisa menyebabkan seseorang meninggal di rumah sakit. Malpraktek memang salah satunya. Tapi ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan lain: pasien memang sakit parah tapi tidak berobat jalan secara rutin, pasien melalaikan kewajiban-kewajiban seperti minum obat danpantangan makan makanan tertentu, kekeliruan pertolongan pertama pada kecelakaan yang terjadi di luar rumah sakit karena penanganan yang salah dari orang awam, atau memang "sudah saatnya" saja dipanggil sama Tuhan. Namun dari semua itu, hal yang paling mudah adalah menyalahkan tim dokter atas malpraktek. Apalagi saat emosi meledak-ledak yang muncul dari rasa kehilangan, kadang-kadang kita butuh menyalahkan orang lain. Gue tahu betapa perihnya kehilangan seseorang yang kita sayangi. Dan rumah sakit selalu menjadi saksi mata atas perihnya rasa kehilangan keluarga-keluarga yang ditinggalkan. 

Belakangan ini, sering sekali gue lihat orang-orang yang bukan dari kalangan medis (nggak sekolah kedokteran, keperawatan, atau yang sejenis) berbicara seolah-olah dia lebih mengerti daripada seorang dokter. Di kereta, di bis, bahkan teman-teman sendiri, pernyataan seperti, "dokternya brengsek sih, cari duit. harusnya sih gak usah dioprasi... tapi tetep dioperasi..." dan "wah kalo lo sakit itu.. langsung minum antibiotik aja", rasanya umum sekali. Sebenernya gue tahu mereka bukan dokter, mereka bukan dari kalangan medis, bahkan mereka tidak mengerti grey's anatomy dan tidak bisa membedakan virus dan bakteri... tapi enteng sekali berbicara seperti seorang dokter soal apakah harus operasi atau tidak perlu operasi, apakah harus minum antibiotik atau tidak minum antibiotik....

Gue sadar tingginya angka kasus tuduhan malpraktek (tingginya angka tuduhan lho... belum terbukti salah atau benar) membuat banyak orang tidak percaya dengan dokter dan rumah sakit. Dan ketidak percayaan ini membuat kita jadi dokter dadakan. Apalagi ketika terjadi sesuatu, dokter lah yang paling pertama kita tunjuk sebagai orang berdosa, dokter lah yang paling pertama kita minta pertanggungjawabannya.

Curhat bokap hari ini bikin gue mikir. Memang banyak dokter tidak bertanggungjawab di luar sana... apalagi ada seorang teman waktu SMA yang sering bolos sekolah, tidak terlalu pinter dan bahkan bukan dari jurusan IPA, tapi berhasil masuk FK Untar. Kenyataan-kenyataan seperti ini emang bikin gue ngeri. Tapi, masih banyak sekali dokter-dokter di negri ini yang kompeten dan memang dengan tulus dan tanpa pamrih ingin menolong dan menyembuhkan orang. Tapi malang sekali nasib mereka, hidupnya penuh dilema karena nyawa banyak orang ada di tangan mereka. Di tambah lagi, rasa paranoid karena selalu dihantui tuduhan malpraktek (yang sebenarnya belum tentu berbukti benar, tapi dituduh pun sudah cukup untuk menjatuhkan seseorang dalam karir kedokterannya)

Jadi dokter itu sama sekali nggak gampang. Jadi dokter itu penuh pengorbanan, termasuk waktu untuk bersama keluarga. Gue masih inget masa-masa dimana dalam satu minggu, papa sering ditelepon subuh-subuh jam 2 atau 3 pagi dan harus berangkat ke rumah sakit karena ada keadaan darurat. Gue masih inget baget, waktu gue kecil, papa sering mengigau ketakutan dalam tidurnya. Dia sering mimpi buruk. Kata mama, papa mimpi buruk karena setiap hari berurusan dengan pemandangan "nggak enak" (gue udah bilang kan kalo bokap gue dokter bedah?)

Sementara, orang awam sering banget bilang, enak jadi dokter... bisa lihat perempuan telanjang sambil pegang-pegang dikit. Terus uangnya banyak. 
Huh. Mereka nggak tau kalo bokap gue juga harus berurusan juga sama empedu busuk, usus bolong, anus bengkak, dll... Darah sudah jadi makanan sehari-hari.

Di antara semua beban dan tanggung jawab menjadi dokter, masih ditambah satu beban psikologis lagi, rasa takut menjadi tertuduh malpraktek... Padahal bokap gue cuma pengen nolong pasiennya, dan mengejar kesempatan hidup -sekecil apapun itu- untuk pasiennya.
Sama sekali nggak ada pikiran untuk cari uang ekstra dari meja operasi (malah dia sering bekerja pro-bono untuk orang-orang miskin)

Ya, blog yang gue tulis dengan sangat cupu ini adalah pembelaan subjektif gue untuk bokap gue dan dokter-dokter lain yang seperti bokap gue. Karena saat gue melihat bokap gue duduk lesu sambil merokok marlboro merah kesayangannya, gue melihat satu hal yang mungkin sering dilupakan banyak orang:

Bokap gue cuma manusia... 

Labels: , , ,

Friday, May 22, 2009

balas dendam

Waktu SMA, gue pernah nyumpahin orang biar mati. eh, beberapa bulan kemudian, orang itu mati beneran...

Pernah juga gue dijahatin dan dimanfaatin orang sampe gue merasa diinjek-injek. Lalu gue berniat balas dendam biar orang itu lebih menderita dari pada gue. Eh balas dendam itu beneran kejadian, dan orang itu ancur banget hidupnya setelah gue balas dendam...

Kita semua pasti pernah benci sama orang. Kita semua pernah mengutuk orang... tapi kalo kutukan itu bener2 kejadian, belum tentu juga kita lega dan senang...

Kurang lebih 3 tahun lalu, sekitar bulan Mei juga, gue berhasil menyusun sebuah strategi untuk menjatuhkan orang yang pernah nginjek-nginjek gue. rasanya bener-bener kaya lagi di medan perang.Gue hanya mao liat orang itu menderita, lebih menderita dari pada gue. Kalo perlu sampe makan tai tu orang. Itu target gue.

Seru lho rasanya. Saat itu gue jadi perempuan manipulatif dan penuh kepalsuan. Gue main detektif-detektifan. Gue jadi mata-mata. Gue adalah criminal mastermind. Gue, seorang perempuan, cukup dengan kata-kata dan akting ternyata bisa bikin sesuatu yang berbahaya. Bisa bikin musuh gue kehilangan segala-galanya yang berharga buat dia. 

Gue sering banget tikam orang dari belakang biar bisa menjatuhkan musuh gue itu. Tentunya, untuk menjatuhkan orang itu gue harus melibatkan orang-orang lain yang gak berdosa. Gue pikir itu war casualities, namanya juga perang, pasti ada korban sipil. Saat itu gue merasa sangat bangga dan pinter, mungkin sebenernya buat menutupi sakit hati gue atas harga diri yang diinjek-injek. Dulu gue bisa ngomong dalem hati: this is what you get when you're messing with me... I'm not a stupid girl.

Gue berhasil. Gue berhasil lihat orang itu minta ampun di kaki gue. Gue berhasil lihat semua yang berharga buat musuh gue itu menghilang satu persatu, sampe akhirnya dia bener-bener gak punya apa-apa lagi... Sampe dia *figuratively speaking* makan tai.

Tapi anehnya, gue masih ngerasa nggak lega. 
Apa balas dendam gue kurang heboh? Apa dia kurang menderita? Ternyata nggak juga.

Saat itu gue berkaca, dan gue bahkan nggak mengenal diri gue sendiri lagi. Gue udah nipu orang, nikam orang dari belakang, dan memanipulasi keadaan agar menguntungkan gue dan merugikan musuh-musuh gue. Gue udah menjelma jadi orang jahat, yang nggak ada bedanya dengan musuh gue itu. Ternyata melihat orang itu terinjak-injak juga nggak bikin gue puas dan lega. Balas dendam nggak ngasih gue apa-apa kecuali perasaan aneh yang bikin gue susah tidur selama beberapa tahun. 

Untung waktu nggak pernah berhenti di satu titik. Untung waktu jalan terus. Gue berhasil ngebuang perasaan benci gue itu jauh-jauh. Musuh gue itu pelan-pelan berhasil mendapatkan kehidupannya kembali. Begitupun juga gue. Gue belajar memaafkan dan berasa lega tanpa harus melihat dia menderita. And now I sleep like a baby...

Sejak saat itu gue belajar... Perang tuh nggak pernah ada untungnya. Apapun bentuk perangnya. Selalu ada orang yang disakitin. Kalo pun kita menang perang belum tentu juga kita sehat dan lega. Terlalu banyak war casualities. Terlalu banyak luka dan dosa di tangan gue. Luka yang sebenernya gara-gara gue sendiri juga.

Sekarang gue belajar tulus. Terutama memaafkan dengan tulus. Kalo perlu, tanpa harus menunggu kata-kata maaf dan perasaan menyesal dari orang yang bersangkutan. 

Diinjek-injek orang emang nggak enak dan gue merasa kehilangan banyak hal saat dirugikan orang lain. Tapi ternyata cara mengembalikan harga diri gue dan kehilangan gue bukan dengan melakukan hal yang sama untuk menjatuhkan orang lain dan melihat orang lain menderita... Justru, gue bisa membangun kembali harga diri gue dan rasa kehilangan gue dengan memaafkan dengan ikhlas...

Sampai saat ini pun, bahkan gue kapok menyujmpahin orang biar mati (kecuali para pengendara motor tanpa helm yang ngebut zig-zag aur-auran di jalanan dengan bunyi knalpot lebay... umur lo gak akan panjang...)

Labels: , ,

Thursday, February 26, 2009

Tulisku pada status di facebook...

Teraya membiarkan angin bertiup menembus ubun-ubun di kepalanya yang sedang kosong...

 

dan pada multiply kutambahkan...

 

 

Datanglah para pecandu

Rasukilah aku seperti dulu

Bisikilah dengan dusta-dustamu yang biasa ku telan hingga tenggelam ke dalam waktu

Ajari jemariku menari dengan lihai, seperti bibirku dalam mengecup kepahitan

Bawa aku pada tandu kematian

Membelah lidah api seperti terbelahnya laut hitam

Palung-palung itu begitu dingin, begitu nyaman

Tempatku bersarang pada sebuah dimensi

Dimana hanya aku dan tuhanku yang mengerti

Aku merindu melangkah seorang diri

Bersandar pada angin dan semesta

Menjadi anak alam penangkal malapetaka

Datanglah para pecandu

Rasukilah aku seperti dulu

Tanpa dunia semaya kasat mata

Bisa apa aku?

Terbatas pada kata

 

Depok, 26 Feb 2009

Labels: , , , , , , ,

Tuesday, November 25, 2008

One way to fight terrorism is cultural understanding

Komen saya dalam blog http://ekkyij.multiply.com/journal/item/118/Kekerasan_Berjubah_Agama_dan_Sinema?replies_read=15



oengoemeloeloe wrote today at 11:23 AM, edited today at 11:28 AM

hi all...
komen sedikit dr gw yg non-muslim ya...

ada quotation yg mencerahkan dr film "Mighty Heart" yg diperankan Angelina Jolie nih...

"One way to fight terrorism is cultural understanding"

Nah, yg gue lihat... para terroris, terutama yg bawa-bawa nama agama (Imam Samudra, FPI, Taliban, dll) udah kehilangan "sense" untuk saling memahami perbedaan kultur manusia (secara spesifik: kultur agama) Udah pasti mereka tidak mau terima perbedaan kultur dari pendapat/budaya/ideologi/agama yang berbeda dengan mereka. Bagi terroris-terroris ini_ yang tidak sependapat/sama dengan mereka layak binasa.

Dalam memahami suatu budaya/kultur, kita harus memahami "relativitas budaya" yg artinya tidak ada budaya yang baik/benar dan budaya yang buruk/salah. Contohnya, dalam budaya Barat, tata krama yang baik ketika berbicara adalah menatap mata lawan bicara. Tp hal ini tidak berlaku di beberapa negara Timur. Di Jepang, misalnya, ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, menatap mata lawan bicara adalah hal yang tdak sopan. lalu yg mana budaya yang paling benar? tidak ada yg benar maupun yg salah... it's just different and it is very hard to understand differences.

My point is... people who can actually fight terrorism are merely ourselves, common people who wish for a better world to live in. Dan gue percaya dengan menyebarluaskan ideologi multikulturalisme(bahwa berbedaan budaya dan memahami perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang indah), terorisme yang mengatas namakan agama bisa diperangi.

Emang sama sekali nggak gampang sih... Gue pun masih suka rasis sama suku tertentu, tp gue selalu berusaha membuka mata dan memahami agama-agama lain di dunia tanpa menganggap mereka kafir hanya karena nggak seagama dengan gue.

Di AS, negara yang juga negara multikultural (seperti Indonesia), kelihatan banget lho kalo film-film di sana mulai dari yang hollywood sampe ke sitkom berusaha buat nyebarin ideologi ini. Gue inget baru kemaren gue nonton sitkom Hope and Faith episode natal dimana keluarga Faith memberikan hadiah natal untuk seorang pegawai setia bernama Hassan yg seorang muslim. Udah nonton Zohan yg dibintangi Adam Sandler? Itu bahkan lebih parah lagi...(parah tp tujuannya baik...) :-D
Dalam dunia nyata, bisa jadi orang-orang berbeda agama saling menghujat... Tp ini kan film, kalau mau bikin dunia utopis nggak perlu tanggung-tanggung... selama maksud dan tujuannya baik.

Nah, sayangnya, untuk sebuah negara yg sangat multikultural seperti Indonesia, gue belum lihat ada film Indonesia yang berusaha mengangkat tema cultural understanding yang bebas dari stereotyping. Padahal, indah banget lho kalau ada sebuah film Indonesia yang berhasil mengangkat tema ini, terutama cultural understanding dalam pemahaman antar agama yg lebih dari sekedar saling toleransi dalam menjalankan ibadah.

Akhir-akhir ini, gue memperhatikan bahwa islam di Indonesia semakin bergerak ke arah yg penuh kekerasan, terutama kekerasan terhadap keberagaman. Padahal dulu, pernah ada masanya dimana di Indonesia, islam yang ada adalah islam yang penuh kasih sayang dan sangat terbuka terhadap pluralisme. Jujur gue rindu banget masa-masa dimana bangsa gue sangat terbuka terhadap keberagaman tersebut. Seandainya saja sekarang semua orang membuka mata dan memahami perbedaan di sekelilingnya, termasuk perbedaan agama, gue yakin kok world peace akan tercapai, hehehe...
Kita bisa mulai dari hal-hal yang kecil dan bisa dilakukan semua orang... misalnya saling mengucapkan selamat hari raya pada penganut agama lain dengan ikhlas dan tulus... dan mau bergaul dan menjalin persahabatan dengan orang-orang yang berbeda suku/agama...
Kalau kita bisa menanamkan hal ini pada hati kita dan orang lain dan menyebarluaskan ideologi multikutural, terrorisme atas nama agama juga bisa kita perangi, kok...

salam damai... ;-)
-thera-

Labels: ,

Monday, October 27, 2008

aku sudah lupa

aku sudah lupa cara merangkai kata-kata hangat bertaburkan heharuman tujuh rupa kelopak bunga
aku sudah lupa meniti satu demi satu aksara yang memagut kokoh membentuk formasi-formasi kuat untuk menampar hati para peniti makna
aku pun lupa caranya menyulap satu demi satu perih dan tawa menjadi hujan verbal yang terperangkap dalam getaran dunia maya

kubiarkan semuanya menggelembung menjadi roh-roh hidup dalam tubuhku
mengendap seperti robot-robot di stepford
isi kepalaku menyublim menjadi angin yang sekedar menggoyangkan ilalang
lupa pula caranya mengetuk pintu jantung malam berbintang

wahai carut marut yang selama ini kupeluk
kemana dirimu di tengah dunia yang kian kusut?

Labels: , , , , , , , ,

the truth

let me just say this
just for you to know
it hurts knowing the fact that i hope the least
i'd prefer not knowing the truth at all
when it's actually best to know
the unbearable truthful pain of the truth

thank you for keeping everything fair and square with me
now go chase your desired smile
it's not mine. it's not me
my smile has long gone within every immature heartache
it grew up into a vicious predator
a flesh-eating carnivore smile
the last thing you would kiss
and the last thing you would embrace into your deep sleep

look at me now
now this is the truth
my eyes are bursting into bloody tears
nevertheless...
can't you see that i'm truthfully smiling right now?

Labels: , , , , , , ,

Tuesday, September 02, 2008

Gak heran di Indonesia banyak kriminal berkeliaran...

Wong polisinya aja sering salah tangkep...
Kalo nggak dapet bukti-bukti yang jelas, bukannya nanya sama Tuhan malah nanya sama dukun...
Maen kekerasan fisik ke tersangka biar mao ngaku dan pekerjaan cepat selesai... jadi pahlawan deh...

Keadilan macam apa sih yang ditegakkan di negara ini?!?!?!?

Labels: , , ,

Monday, July 14, 2008

Sejarah musik rock indonesia?

Jakarta Rock Parade - Day 3

Waktu kuliah, katanya yang membedakan sejarah dan pra-sejarah adalah ketika manusia kenal tulisan. Sebelum manusia kenal tulisan, disebutnya pra-sejarah... dan setelah manusia tahu caranya menulis, kita memasuki masa sejarah.

Jadi apa yang dibutuhkan untuk membuat sejarah? Perang? Deklarasi? Bom atom? Apapun itu, selama hal tersebut tercatat manusia, maka dia tercatat dalam sejarah. Kebalikkannya, kalau sesuatu hal yang penting tidak tercatat manusia sama sekali, maka kejadian tersebut akan terlupakan dari sejarah.

Lalu saya belajar sastra, ilmu budaya, dan teori-teori postmodernisme. Doktrin-doktrin yang saya terima mengatakan bahwa sejarah itu bisa memiliki versi yang berbeda, tergantung dari mata siapa sebuah kejadian bersejarah itu disaksikan, siapa yang menulis dan dari sudut pandang apa. Contoh singkatnya, sejarah G30SPKI yang sekarang mulai diragukan kebenarannya... coba tanya seorang komunis (atau x-komunis) yang dibungkam negara, sejarah yang dia katakan pasti berbeda versi dari sejarah versi Orba yang selama ini kita tahu. Jadi, sebenarnya sejarah itu subjyektif (Teman-teman yang dari jurusan Sejarah pasti gak sejuju...hohoho... peace yha...)

Akhir minggu kemarin, baru saja dilaksanakan sebuah acara Parade Musik Rock Jakarta  (Jakarta Rock Parade) yang jargonnya adalah "Let's Make History". Sayang ternyata hasil yang tercatat dari sejarah itu tidak sesuai harapan banyak orang. Banyak pengisi acara membatalkan penampilannya karena masalah pembayaran, banyak pula penonton mengeluh perihal tiket masuk yang terlalu mahal sementara band-band import yang ditunggu-tunggu membatalkan penampilannya juga.  

 Saya malas mencatat hal yang buruk-buruk karena saya yakin media masa dan kritikus gigs sudah melakukannya (no offense yah, guys...) Berikut adalah catatan sejarah dari sudut pandang saya_subyektifitas saya.

Berhubung band saya masih melacur, jadi kami tidak menuntut apa-apa dalam hal pembayaran. Menjadi bagian dalam *apa yang mereka bilang* sejarah juga sudah senang. JRP menjadi panggung yang spesial bagi kami karena pada saat itu lah kami merasa tampil dengan sangat maksimal (walaupun terdapat human error pada bagian sound panggung - vokal gue tiba2  bergema dan output bass kurang terdengar) Hal yang paling utama, karena kami kini bersama drummer additional baru. Bermain di tempo yang aman dan groove yang dicari, saya merasa jauh lebih rileks dan bebas kekhawatiran. Sekarang saya tahu perasaan seorang Iman Fattah waktu jatuh hati pada Uta... hehehe. (Saat ini kami sedang dalam masa pendekatan dengan drummer baru itu, doakan kami semoga suatu saat dia mau bergabung bersama kami ya...) Sebenarnya kami ingin membawakan 7 lagu, tapi sayang sekali, panitia memotong waktu kami di tengah-tengah sehingga hanya 4 lagu yang kami bawakan. Kami memperkenalkan dua lagu baru, yang sambutannya cukup positif dari teman-teman.

Keajaiban lain yang tidak kami sangka, yaitu ketika kami tampil di panggung lounge dan ZATPP memulai penampilannya di indoor. Sebagian penonton tersedot ke indoor, tapi cukup banyak yang bertahan di luar untuk menyaksikan kami. Mengagetkan dan sangat membahagiakan mengingat siapalah kami dibanding band sekeren ZATPP :-D

Hal lain yang juga ingin saya catat, *narsis alert* ada beberapa orang dari band lokal bertaraf internasional yang selama ini saya kagumi_ memuji penampilan kami. Biduanitanya yang merupakan salah satu referensi koreografi dan interaksi di panggung buat saya bahkan memuji secara berlebihan. (gue malu dan ge-er berat dengernya... masih merasa belom pantas dengar pujian seperti itu...)

Ok, enough about us... now about other bands.

Saya belajar satu pal penting dalam JRP: soal kerendahan hati. Saya tahu banyak band yang membatalkan penampilannya karena masalah pembayaran, dan mereka sangat berhak melakukan hal tersebut. Tapi saya cukup terharu melihat beberapa band/musisi yang sebenarnya ingin sekali mensupport acara ini, bahkan mereka rela main meski bayaran belum lunas. Adrian Adioetomo misalnya. Ketika saya dapat kabar burung soal akan dibatalkannya hari ke-3, saya langsung menghubungi beberapa teman yang juga akan tampil. Ian dengan sabar berkata, bahwa apapun yang terjadi dia akan tetap datang. Ketika tampil di panggung pun Ian tetap memuji usaha dan kerja keras panitia. Kerendahan hati yang patut jadi teladan bagi kita semua... kalau tidak ingin mensupport panitianya, minimal kita support musik dan semangatnya (tapi jangan dijadikan alasan bagi EO - EO di luar sana untuk mencari band gratis yhaaa... being humble is not the same as being stupid lhoooo...) 

Lalu, saya sangat bersyukur dengan kesempatan menyaksikan Southern Beach Terror yang banyak dibicarakan itu... Mereka attraktif sekali! benar-benar aroma baru bagi telinga-telinga yang sudah haus variasi baru musik rock di Indonesia. Dan juga tentunya, sangat bersyukur bisa menyaksikan MONO dan mendapatkan tanda tangannya di balik ID performer saya (Special thanks to Rekti, yang mau dititipin ID, hehehe) Mereka bernyawa di panggung seperti manusia-manusia bisu, tidak berbicara sama sekali, tapi dengan ajaib saya mengerti apa yang ingin mereka katakan dari musiknya: seperti inilah bunyi dari rasa sakit, perih, kesepian, dan amarah_ pelajari baik-baik, nak. Hidup tidak selamanya warna-warni seperti gulali.

Jumlah penonton yang sedikit sebenarnya memberi banyak keuntungan. Berjumpa dengan teman-teman yang saling kita kenal, jalan tanpa perlu berdesak-desakkan, dan suasana yang lebih akrab antara panggung dan penonton: hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan dalam acara-acara besar pada umumnya.

Terima kasih untuk panitia yang sudah berusaha. Keputusan untuk terus menjalankan acaranya sampai hari ke-tiga dan mengurangi 4 panggung menjadi 2 panggung adalah keputusan mendadak yang sangat bijak. Semoga acara pertama ini menjadi tempat untuk belajar dari kesalahan (dan banyaaaaaak sekali yang harus dipelajari!!! Baaaaanyaaaaakkk!!! Gue nulis hal-hal positif di sini bukan berarti gue 100% puas sama kerja panitia lho...)

Demikianlah catatan sejarah versi saya. Saya yakin anda mempunyai sudut pandang sendiri dalam melihat event kemarin_ sudut pandang performer, sudut pandang penonton, atau bahkan sudut pandang panitia. Catatlah dan publikasikan pada blog anda, dan kita pun berhasil membuat sejarah.

Labels: , , , ,

Tuesday, February 19, 2008

Betapa indahnya masa kuliah...

Sebuah reply di blognya FIFA, temen SMA gue yang kuliah di FSRD ITB (klik namanya untuk link)


Betapa indahnya masa kuliah...
Dapet uang jajan dari org tua (belom lagi ditambah nyatutnya)
Dapet pencerahan dari kuliah2 keren (kuliah umum gak termasuk)
Belajar mandiri indekos (dan bebas nginep d mana aja, hiihihii)
Jeans robek kaos barong
Selinting daun surga di tepi danau UI sambil membaca novel "On the Road" karya Jack Kerouac
Atau mendengarkan MP3 dimana paman Jim menyanyikan lagu "Alabama Song"
Weekend tiba, saatnya manggung bersama band tercinta
Atau sekedar kongkow di sudut favorit cafe bawah tanah itu
Bir dan liquor gratisan pun tak jarang berdatangan (karena uda kenal waitress dan bartendernya)

Lalu gue lulus (bangsat..)
Bonyok gak mao kasih duit lagi (damn!!!)
Mendadak dilarang ngekost karena bonyok takut anaknya makin edan (kembali jadi benalu di rumah mama)
Bye bye jeans sobek, welcome rok bego
Bye bye kaos bali barong bolong2, welcome kemeja
Bye bye sendal jepit, welcome high heels
Bye bye bohemian lifestyle, welcome constructed life

Pada akhirnya kita selalu terpaksa menjadi baut kecil di sebuah clockwork raksasa, we're all Clockwork Orange at the end... hiks...

(Sastra UI dan FSRD ITB ternyata gak jauh beda yah, Fif...)

Labels: , , , , ,

Friday, December 21, 2007

berjuta-juta detik yang lalu

Aku adalah tanaman rambat yang melilit di pagar rumahmu. Ibuku rumput liar dan ayahku dandelion. Setiap malam aku merindu ranting-ranting kokoh yang diam-diam membelaiku, memperkenalkan aku pada ruangan tanpa batas antara mimpi dan kenyataan. Setiap saat dibawanya aku pada dunia penuh cermin tanpa kita harus bercermin. Cukup diperkenalkannya aku pada keindahan-keindahan lampu yang meredup di akhir tahun dengan setiap kecupan pertamanya. Aku dibuainya begitu lembut, oleh rangkaian puisi-puisi yang disenandungkannya diam-diam untukku setiap malam menjelang tidur. Tanpa perlu berkata-kata, kami saling tahu betapa kami merindu satu sama lain. Kami meniupkan kecupan tiap malam tanpa harus bertatap, karena hati kami saling terikat diantara mimpi-mimpi yang pernah kami rangkai. Kami memunguti mutiara dan menjadikannya bola mata kami. Bersama bias terangnya kami saling memeluk. Melihat keanggunan realitas khayal masa-masa itu, berjuta-juta detik yang lalu.

Labels: , , , ,

Hanya Sebuah Puisi Tanpa Arti

Perempuan itu kembali pada tempatnya di sudut ruang. Meringkuk dan membiarkan tubuhnya mengecil menjadi debu di tepian. Seandainya saja angin bisa meniupku kemanapun mereka mau, silahkan,  pikirnya.

Wajahnya tidak lagi seindah dahulu kala ketika senyum masih kerap kali menghiburnya. Kini yang tersisa hanya ruang-ruang kosong yang tertanam di hatinya.

Perempuan itu pernah hidup dan menyala. Kini cahayanya redup termakan sudut-sudut kesepian yang kosong. Jemarinya sudah kaku dan tak lagi menuliskan kata-kata. Rupanya arti sudah hilang dari pikirannya.

Perempuan itu kembali pada tempat menyepinya di sudut ruang. Merasakan benar-benar kepedihan yang paling dalam. Membiarkan rasa sakit mengajarinya arti hidup.

Labels: , ,

Monday, December 17, 2007

Bye bye, baby bye bye

You were there. I knew it. I felt it.
You were there. Inside me. You lived within me.
You were there. In progress of creating. In process of being.
You were there. Soulless. Bodiless. Nameless. Unnoticed.
But I don't care.
Deep inside, I believe you were there.

If my womb was too ferocious,
at least, you were there
alive  in my imagination

Labels: , , ,

Tuesday, December 11, 2007

Mengikat Sepatuku

Ibuku mengajarkan aku cara mengikat tali sepatu seperti mengikat dua kuping kelinci secara bersamaan. Tapi, mayoritas dari teman-temanku lebih suka mengikat tali sepatu seperti membiarkan seekor tupai lari mengitari sebatang pohon kecil. Mereka berdebat tentang cara mengikat sepatu yang paling benar, paling nyaman, dan paling mudah. Buatku, dua-duanya sama saja.

Tetapi kemudian aku menemukan cara mengikat tali sepatu yang lebih kreatif. Kumainkan tali sepatu seperti aku membiarkan tupai lari mengejar kelinci di bawah pohon kurus, lalu pohon tersebut tertiup angin hingga ranting-rantingnya kusut dan saling mengikat. Sementara kelinci dan tupai? Mereka piknik dan saling berbagi wortel serta kenari. Ibu dan teman-temanku tidak suka melihat caraku mengikat sepatu, menurut mereka caraku mengikat sepatu adalah penyimpangan dari cara-cara yang lebih benar. Aku tidak peduli, menurutku, tali sepatuku tampak lebih indah dan lebih sulit dilepas sekalipun aku terantuk batu. Aku sering dipandang sebagai anak aneh karena caraku mengikat sepatu, dan ibu serta teman-temanku masih saja mengeluh tentang caraku mengikat sepatu.

Ya, apa peduliku? Mereka bebas mengikat sepatunya dengan cara yang mereka mau. Itu sepatu mereka dan kaki mereka. Ini sepatuku dan ini kakiku. Cara seperti inilah yang paling cocok denganku, dan aku merasa sangat nyaman dengan caraku mengikat sepatuku. Apapun caranya dalam mengikat sepatu, tokh tujuannya tetap sama: mengikat tali sepatu agar tidak terlepas, terinjak, dan tersandung.

Labels: , , ,