Dokter juga manusia
.
.
.
.
.
Kasihan bokap gue...
Siang ini dia pulang dengan wajah lesu, lalu curhat sama mama. Ternyata, pasien yang sedang ditanganinya hari ini meninggal dunia. Mama tanya balik dengan santai, "tapi nggak di meja operasi kan?" (PS. bokap gw adalah dokter bedah umum). Papa hanya menggeleng dalam kebisuannya. "Bagus dong," kata mama enteng, "jadi kamu nggak bisa disalahin."
Papa hanya terdiam. Sebentar menyalakan marlboro merahnya dan menyambung, "Atau justru saya yang dosa. Karena nggak ngoprasi dia."
"Nggak lah!" mama membela dengan tegas. Seperti biasa, selalu berusaha agar papa merasa lebih enak setiap ada kejadian sejenis.
Rupanya, pasien tersebut memang sakit parah dan kecil kemungkinannya untuk bertahan. Hanya ada dua pilihan, dioperasi dan masih ada kemungkinan kecil untuk hidup, atau tidak dioperasi dan sama sekali tidak ada kemungkinan untuk hidup. Dioperasi pun sangat beresiko, tinggi kemungkinan meninggal di meja operasi karena kondisi pasien yang sudah sangat lemah. Sedikit saja kesalahan di meja operasi atau sebentar saja kondisi pasien mendadak tidak stabil, nyawa sang pasien melayang. Tapi, ya.. kalau tidak dioperasi, sang pasien bisa dipastikan 99% akan meninggal.
Meskipun prosedur sebelum operasi mensyaratkan surat izin operasi dari pihak keluarga, tapi tetap saja... kalau terjadi apa-apa di meja operasi, bagi pihak keluarga yang merasa kehilangan, mengucapkan kata malpraktek baik secara legal maupun bisik-bisik tetangga sangatlah mudah.
Papa berani mengambil resiko untuk membawa sang pasien ke meja operasi, karena papa tahu, itu satu-satunya jalan untuk memberikan kesempatan hidup bagi pasiennya. Tapi rupanya dokter anesthesi berbeda paham dengan papa. Beliau menolak untuk membawa pasien ke meja operasi, karena resiko meninggal di atas meja operasi terlalu tinggi. Tentu saja, dokter anesthesi tidak mau mengambil resiko apapun, termasuk dituduh malpraktek, dan memilih membiarkan pasien berjuang seorang diri tanpa operasi. Ya, memang itu menyalahi kode etik kedokteran, tapi... gue sama sekali tidak menyalahkan dokter anesthesi itu. Karena, kalau sudah kena tuduhan malpraktek, bukan hanya kehilangan pekerjaan, dokter bisa juga sama sekali tidak akan mendapatkan pekerjaan lagi di rumah sakit manapun, dan tidak bisa menghidupi keluarganya. Dokter anesthesi itu rupanya lebih memegang "kode etik" berkeluarga. Tidak apa, itu hak dia.
Akhirnya? Pasien meninggal dunia siang ini. Dokter-dokter aman dari resiko tuduhan malpraktek karena tidak membawa pasien ke meja operasi. Dan papaku bersedih hati, karena tahu sebenarnya masih ada kesempatan yang bisa diambil untuk menyelamatkan nyawa yang dilewatkan begitu saja, hanya karena dokter-dokter lainnya takut dituduh malpraktek. Walaupun kecil sekali, tapi kesempatan itu sebenarnya ada. Papa adalah orang yang selalu berusaha mengejar sesuatu setiap ada kesempatan, sekecil apapun kemungkinannya (dengan prinsip hidup seperti inilah papa berhasil menyelamatkan banyak nyawa, dan dengan prinsip inilah papa berhasil dapetin mama... si kembang kampus tetangga)
Ada ratusan hal yang bisa menyebabkan seseorang meninggal di rumah sakit. Malpraktek memang salah satunya. Tapi ada banyak sekali kemungkinan-kemungkinan lain: pasien memang sakit parah tapi tidak berobat jalan secara rutin, pasien melalaikan kewajiban-kewajiban seperti minum obat danpantangan makan makanan tertentu, kekeliruan pertolongan pertama pada kecelakaan yang terjadi di luar rumah sakit karena penanganan yang salah dari orang awam, atau memang "sudah saatnya" saja dipanggil sama Tuhan. Namun dari semua itu, hal yang paling mudah adalah menyalahkan tim dokter atas malpraktek. Apalagi saat emosi meledak-ledak yang muncul dari rasa kehilangan, kadang-kadang kita butuh menyalahkan orang lain. Gue tahu betapa perihnya kehilangan seseorang yang kita sayangi. Dan rumah sakit selalu menjadi saksi mata atas perihnya rasa kehilangan keluarga-keluarga yang ditinggalkan.
Belakangan ini, sering sekali gue lihat orang-orang yang bukan dari kalangan medis (nggak sekolah kedokteran, keperawatan, atau yang sejenis) berbicara seolah-olah dia lebih mengerti daripada seorang dokter. Di kereta, di bis, bahkan teman-teman sendiri, pernyataan seperti, "dokternya brengsek sih, cari duit. harusnya sih gak usah dioprasi... tapi tetep dioperasi..." dan "wah kalo lo sakit itu.. langsung minum antibiotik aja", rasanya umum sekali. Sebenernya gue tahu mereka bukan dokter, mereka bukan dari kalangan medis, bahkan mereka tidak mengerti grey's anatomy dan tidak bisa membedakan virus dan bakteri... tapi enteng sekali berbicara seperti seorang dokter soal apakah harus operasi atau tidak perlu operasi, apakah harus minum antibiotik atau tidak minum antibiotik....
Gue sadar tingginya angka kasus tuduhan malpraktek (tingginya angka tuduhan lho... belum terbukti salah atau benar) membuat banyak orang tidak percaya dengan dokter dan rumah sakit. Dan ketidak percayaan ini membuat kita jadi dokter dadakan. Apalagi ketika terjadi sesuatu, dokter lah yang paling pertama kita tunjuk sebagai orang berdosa, dokter lah yang paling pertama kita minta pertanggungjawabannya.
Curhat bokap hari ini bikin gue mikir. Memang banyak dokter tidak bertanggungjawab di luar sana... apalagi ada seorang teman waktu SMA yang sering bolos sekolah, tidak terlalu pinter dan bahkan bukan dari jurusan IPA, tapi berhasil masuk FK Untar. Kenyataan-kenyataan seperti ini emang bikin gue ngeri. Tapi, masih banyak sekali dokter-dokter di negri ini yang kompeten dan memang dengan tulus dan tanpa pamrih ingin menolong dan menyembuhkan orang. Tapi malang sekali nasib mereka, hidupnya penuh dilema karena nyawa banyak orang ada di tangan mereka. Di tambah lagi, rasa paranoid karena selalu dihantui tuduhan malpraktek (yang sebenarnya belum tentu berbukti benar, tapi dituduh pun sudah cukup untuk menjatuhkan seseorang dalam karir kedokterannya)
Jadi dokter itu sama sekali nggak gampang. Jadi dokter itu penuh pengorbanan, termasuk waktu untuk bersama keluarga. Gue masih inget masa-masa dimana dalam satu minggu, papa sering ditelepon subuh-subuh jam 2 atau 3 pagi dan harus berangkat ke rumah sakit karena ada keadaan darurat. Gue masih inget baget, waktu gue kecil, papa sering mengigau ketakutan dalam tidurnya. Dia sering mimpi buruk. Kata mama, papa mimpi buruk karena setiap hari berurusan dengan pemandangan "nggak enak" (gue udah bilang kan kalo bokap gue dokter bedah?)
Sementara, orang awam sering banget bilang, enak jadi dokter... bisa lihat perempuan telanjang sambil pegang-pegang dikit. Terus uangnya banyak.
Huh. Mereka nggak tau kalo bokap gue juga harus berurusan juga sama empedu busuk, usus bolong, anus bengkak, dll... Darah sudah jadi makanan sehari-hari.
Di antara semua beban dan tanggung jawab menjadi dokter, masih ditambah satu beban psikologis lagi, rasa takut menjadi tertuduh malpraktek... Padahal bokap gue cuma pengen nolong pasiennya, dan mengejar kesempatan hidup -sekecil apapun itu- untuk pasiennya.
Sama sekali nggak ada pikiran untuk cari uang ekstra dari meja operasi (malah dia sering bekerja pro-bono untuk orang-orang miskin)
Ya, blog yang gue tulis dengan sangat cupu ini adalah pembelaan subjektif gue untuk bokap gue dan dokter-dokter lain yang seperti bokap gue. Karena saat gue melihat bokap gue duduk lesu sambil merokok marlboro merah kesayangannya, gue melihat satu hal yang mungkin sering dilupakan banyak orang:
Bokap gue cuma manusia...
Labels: blog, family, speakingofheart, thought
7 Comments:
So lucky
Good doctor, good father..
grrrrrrrrrr. pemikiran macam apa ini? huhu so naive. or stupid?
thera, aku juga pernah mengalami hal yang sama. pagi buta, omku (dulu tinggal bareng ama doski), nangis gitu. karena bayi (pasiennya) meninggal dunia. stress banget doski. huhu. i feel you =(
percaya ato nggak.... guru ekonomi gw waktu smp ngomong gitu di depan kelas. dia sendiri bilang sambil becanda, kalo jadi dokter itu enak... bisa pegang-pegang perempuan, dapet duit lagi.
gila ya?!?!?! gw yg kebetulan duduk paling depan langsung protes. trus gurunya langsung tersipu-sipu sendiri...
thx, i couldn't ask for a better dad. he's the greatest.
Waw... Nice story... Thanks for sharing this to us...
Hi Om yun... :D
gue pernah menulis sebuah kolom tentang bagaimana buruknya layanan kesehatan di negeri ini.... bagaimana rumah sakit lebih mementingkan aspek bisnis dibanding pelayanan... kesenjangan pelayanan antara 'boutiqe hospital service' (premium medical check up, private natal suite dll) dibanding misalnya UGD RSCM... Beberapa kali juga baik gue maupun kenalan gue mendapat layanan yang jauh dari layak... keseringan sih dari pihak RS, bukan dokternya.
tapi membaca blog mu ini, it neutralizes my point of view. you're so right thera.... masih banyak dokter yang memang dengan tulus ingin menyembuhkan orang. dan kita juga banyak berhutang budi sama mereka dalam kehidupan kita. tapi satu pengalaman buruk bisa bikin kita lupa sama semua itu dan bikin kita judgemental.
a perspective changing experience was when i recently lost an uncle. being by his side from the moment he fought his critical illness until he passed away, i got to see how for the doctors, it was more than just doing their job. they sincerely cared for his well being.
dan gue akhirnya bener-bener merasakan bagaimana kematian memang kuasa tuhan... bukan siapa-siapa.
loh kok panjang? ya sudah kalo begitu... hehehe
Post a Comment
<< Home