Saturday, March 31, 2007

Rare Pearls

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Janis Joplin
Album ini hanya ada dalam "Box of Pearls" sebagai bonus EP, berisi 5 buah lagu yang mungkin jarang banget kita denger: versi live dari Maybe, Bo Diddley, Raise Your Hand, dan studio outake dari It's a Deal, dan Easy Once You Know How. Cukup terwakilkan dari judul album, "Rare Pearls" memang langka dan baru dikeluarkan kembali tahun 1999 bersama "Box of Pearls" - box set.

Tidak banyak yang bisa saya bilang tentang perempuan legendaris ini. Soul, blues, dan nuansa psychedelic yang 'diblender' jadi satu, namun tetap dalam komposisi yang teratur. Satu hal lagi yang patut menajamkan "Rare Pearls", lewat musik-musik kasar yang direkam secara live, 'liar' nya lady Janis jadi lebih terasa. Memang, musik-musik dalam EP ini lebih nikmat dalam format secara live, memberikan nuansa 'soul' yang berbeda dari versi rekaman studionya. Sayang sekali saya lahir beda zaman dengan Janis Joplin, saya ingin sekali berada di tahun 1969 saat Janis Joplin membakar Woodstock.

Bagi para penggemar setia Janis Jopli, kalian harus memiliki koleksi langka ini. Silahkan berburu di amazon.com atau mencari mp3 nya.

Labels:

Romanticist Start From Here - EP (Demo)

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Indie Music
Artist:Autoband
Ini adalah demo titipan teman saya untuk sebuah acara tahunan yang diadakan jurusan saya. Autoband, namanya sudah tidak asing lagi meskipun baru satu kali saya melihat mereka langsung secara live. Sepertinya tidak lama lagi mereka akan mengeluarkan sebuah EP yang berjudul sama dengan demo yang saya terima ini.

Saya suka covernya, kuning cerah bergambar mainan anak-anak. Saya sendiri tidak tahu apa sangkut pautnya dengan judul album mereka nanti (belum tentu mereka juga akan memakai gambar cover yang sama) tapi mungkin ada sangkut paut dengan nama band mereka yang diambil dari bahasa jerman yang berarti jalan tol.

Jujur, saya bukan sepenuhnya penikmat musik yang disebut new wave ini. Saya sempat kecewa dengan lagu pertama yang saya dengar, "Lantai Dansa". Intro lagu ini cukup menarik perhatian, tapi sayang melodi vokal tampak terkurung dalam pola-pola yang mudah ditebak, seolah-olah tidak berani mengambil resiko untuk membentuk pola-pola yang lebih berani. beruntung melodi lead gitar dan keyboard berhasil menutupi kekurangan ini.Tidak ada juga yang spesial dengan lirik "Lantai Dansa", apapun yang berbau disco new wave pasti berhubungan dengan lantai dansa. Hal ini tidak lagi baru.

Kekecewaan saya terhadap lagu "Lantai Dansa" diobati dengan lagu "My Funny Friend". Ini lagu paling bagus dalam EP ini. Salut untuk Mita sang keyboardist yang menyempurnakan keindahan lagu ini. Tidak saja berhasil membuat saya memejamkan mata dan sedikit bergoyang, saya terlarut dengan nuansa "megah" dan "kuat" yang dihasilkan lagu ini. Lagu yang cocok untuk soundtrack film kartun Jepang! Bukan kartun Jepang tipikal Doraemon, tapi yang bertema kepahlawanan sejenis Saint Seiya. Sepertinya mereka memang menganggap seorang teman yang lucu (funny friend) bisa dianggap sebagai pahlawan karena selalu menyenangkan dan bisa meramaikan suasana. Seandainya saja dua vokalis Gandi dan Asti tidak hanya bersahut-sahutan tetapi juga membina harmonisasi suara satu &dua di bagian reff, pasti hasilnya akan lebih dasyat lagi.

Lagu berikutnya adalah "Disco Fever", lagu yang mengingatkan saya dengan sebuah band elektronik yang berinisial GE. Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan, tapi bridge lagu ini terdengar cukup familiar dengan salah satu lagu GE. Tidak masalah bagi saya secara personal, karena keseluruhan lagu ini, meskipun tidak kehebat "My Funny Friend", cukup lucu dan menghibur.

Berikutnya adalah lagu "My Universe" yang tipikal nuansanya masih mengajak bergoyang ringan seperti "Disco Fever". Masih belum keluar jalur dari tatanan aman. Vokal yang diwarnai efek mewarnai akhir lagu ini, bukan hal baru, tapi berhasil mengakhiri lagu dengan baik.

Lagu terakhir adalah lagu semi balada berjudul "Better Place". Lewat lagu ini sepertinya Autoband berusaha menampilkan keindahan vokal Asti secara maksimal. Ringan dan indah. Lagu ini sangat easy listening dan berpotensi menjadi lagu 'sing along song' bila cukup sering didengar oleh para penggemar. Lagi-lagi, lagu ini akan lebih baik jika Asti berani keluar dari zona aman, lebih rileks dan lepas dan lebih berani menunjukkan emosi lewat vokal.

Secara keseluruhan, demo ini berada dalam batasan antara lumayan dan cukup baik. Seandainya saja Autoband lebih berani mengambil resiko dalam menciptakan lagu-lagunya, Autoband akan berada jauh didepan band-band new wave lainnya. Saya tidak meragukan bahwa Autoband sesungguhnya mempunyai kapasitas untuk itu. Satu atau dua langkah lagi untuk terus lebih berani dan lebih inovatif, Autoband akan berada di luar zona aman dan memberikan gebrakan new wave dalam musik indie di Indonesia.

Skala 1-10: 7

Labels:

Curhatan Seputar Skripsi (Part II)

Kadang-kadang nyesel rasanya liat temen-temen yang udah lulus duluan tanpa harus bikin skripsi. Emang ada dua cara lulus di jurusan gue, sastra inggris UI. Cara pertama adalah dengan nulis skripsi, cara kedua adalah non-skripsi. Dan cara non-skripsi ini yang paling aneh. Biasanya di jurusan lain jalur non-skripsi digantikan compre atau TA, tapi nggak di sastra Inggris UI, all you have to do just finish all your 144 sks. Karena bisa lulus hanya dengan ngabisin 144 sks tanpa harus bikin skripsi atau kompre, jadi ada kemungkinan juga lulus 3,5 tahun buat yang non-skripsi, buat yang skripsi minimal lulus dalam waktu 4 thn. Semua hanya pilihan-pilihan. Mao cepet lulus atau lama. Terserah elo.

Pas gue tanya dosen gue kenapa kok jurusan kita enak banget, gampang lulusnya, dsb. Ternyata kata dosen gue karena jurusan ini udah akreditasi A dan jurusan sastra inggris plg keren di indonesia. Kenapa keren? Ternyata karena muatan mata kuliah yang disajikan di S1 Sastra Inggris UI sudah nyaris seperti S2. Jadi, kalau dalam tataran bikin tugas, sebenernya S1 cukup bersifat deskriptif aja, tapi jurusan gue udah menerapkan analisis kritis.

Waktu gue memutuskan milih jalur skripsi, padahal jumlah sks gue udah 150 (gue bisa lulus 3,5 thn) dosen gue nanya: kok mao2nya nyusah2in diri sendiri? Kan udah ada yang enak, udah ada jalur yang tinggal lulus doang... bla bla bla. Beberapa teman gue bilang "untuk pembuktian diri, bu. Kalo kita bisa nulis skripsi!" Dosen malah merengut. Pembuktian diri aja nggak cukup, katanya. It's going to be a real big thing, she said. It is not easy. bla bla bla... yadda yadda yadda... Gue sempet bingung, ada 10 mahasiswa dari 45 mahasiswa angkatan 2003 yang milih jalur skripsi, gue kira awalnya itu hal yang baik, ternyata malah "ditakut2in".

Ternyata bener. Nulis skripsi sangat under preassure. Skripsi sastra kebanyakan pake metode penelitian literatur, jadi murni kerja sendiri dengan baca2 buku literatur, nggak pake angket dsb dsb. Ternyata cara ini juga gak gampang, dasar pemahaman teorinya harus bener2 kuat, argumen2 yang keluar harus didukung analisa yang kuat, dan semuanya dateng dari diri sendiri. Jadi saat sidang, lebih mudah dibantai karena nggak bisa ngasih data empiris yang jelas (misalnya persentase2 dari hasil angket), semuanya abstrak dari hasil analisa sendiri, tapi di situ gue rasa justru itu yang bikin menantang.

Sekarang gue sangat under preassure. Tinggal 2 bulan lagi tapi gue tetep masih merampungkan dasar konsep. Sejauh ini baru Bab 1 yang selesai (huaaa... hix hix!) Kemanyakan temen2 gue juga gitu. Tapi apa gue menyesal ngambil jalur skripsi? Sementara beberapa temen2 gue yang udah lulus dari jalur non-skrip udah pada kerja dimana-mana, malah ada yang bulan mei mao kawin, hehe. Apakah gue iri dengan mereka? Nggak juga. Meskipun dosen udah ngasih alasan yang cukup logis bahwa kita nggak mesti bikin skripsi untuk lulus karena bahan kuliahnya juga udah nyaris seperti S2, tapi gue tetep butuh pengalaman membuat penelitian ilmiah tentang literatur. Gue ngalamin under preassure yang nggak biasa. Berawal dari ke-belagu-an gue dan ketidakmampuan gue melihat kapasitas diri sendiri, gue milih corpus yang susah untuk dianalisa. Edan, bingung, pusing, aiiih...

Tapi gue nggak nyesel, at least gue berusaha untuk tidak menyesal. Gue bisa aja tulis surat pernyataan untuk mundur dari jalur skripsi dan lulus semester ini, tapi nanti gue gak akan memaafkan diri gue sendiri. Gue pasti malu sama diri gue sendiri. Mahasiswa dari universitas "tak terdengar" aja juga bisa nulis skripsi, masa gue nggak? Toh selama ini gue bisa survive dengan muatan kuliah yang cukup diatas standar, masa nulis skripsi doang gue gak bisa? Sebenernya apa sih dasar masalahnya? Selama ini tokh gue gak nemuin kesulitan dalam kuliah dan gak pernah kesulitan nulis tugas2 kuliah. Gue rasa bukan karena gue nggak bisa, tapi emang gue gak terbiasa nulis secara terstruktur dan dalam jangka waktu yang panjang. Gue tipe deadliners, mungkin dengan ngambil jalur skripsi ini gue harus bisa merubah kebiasaan itu. Nulis minimal 60 pages of skripsi gak menakutkan buat gue kok... presentasi dan pertanyaan2 pas sidang juga gw gak parno2 amat, gue udah terbiasa dengan persentasi tugas dan pertanyaan2 yang membantai. Sebenernya "the idea" of skripsi itself yang bikin gue takut. Gue takut gue gak sanggup nyelesain, itu aja... Takut malu sama diri sendiri karena gak bisa ngontrol diri sendiri dan menyelesaikan komitmen gue ke diri sendiri...

Makanya, harus selesai! Semangaaat! jangan kasih gw gelar sarjana kalo gue gak bisa selesain skripsi gw!

Labels:

Curhatan Seputar Skripsi (Part I)


Stuck stuck stuck!
tolooooooong!




Labels:

Tuesday, March 27, 2007

Little Children (2006):

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Saya memang sangat mencintai film drama. Pasti pendapat ini klise, tapi lewat film drama lah saya menemukan gambaran-gambaran kehidupan yang realis, terkadang miris dan ironis. Hix, isn't that all life's about?

Setelah Marie Antoinette, sekarang saya akan membahas film yang tidak lagi baru tapi baru saja saya nonton tadi malam. Sambil mengingat-ingat, sekarang saya berusaha melakukan close reading terhadap film yang dibintangi Kate Winslet ini. Mungkin film ini cocok untuk dianalisa dengan pendekatan budaya, dalam kasus ini, konteks budaya Amerika.

Kate Winslet berperan sebagai IIIII, ibu dari satu anak perempuan, seorang feminis yang juga ibu rumah tangga, hidup di daerah suburban kota dan mengamati sifat ibu-ibu rumah tangga lainnya. Dia sendiri bukan tipikal ibu rumah tangga suburban biasa. Daerah itu sedang melakukan aksi meneror seorang mantan kriminal phedofilia yang dinggal di neighbourhood mereka. IIII bertemu dengan UUUU, seorang 'bapak rumah tangga' yang juga beranak satu. Merka jatuh cinta dan hendak melarikan diri bersama. Intrik perselingkuhan sesekali diselingi dengan permasalahan masyarakat yang paranoid terhadap si phedofil. Akhirnya semua tokoh di film ini menemukan makna hidup masing-masing setelah twist yang menegangkan pada klimaks film.

Okay, okay... enuf spoiler. Now this is what I think about the movie.

Apakah film ini semata-mata tentang perselingkuhan? Apakah tentang menderitanya menjadi seorang phaedophillia? Atau ini sebuah film feminis tentang perempuan sub-urban? Entahlah. Yang pasti film ini menggarisbawahi satu hal penting: Jiwa kekanak-kanakan yang tidak akan pernah bisa hilang dalam diri seorang manusia. Anda pasti bisa menebaknya dengan hanya membaca judulnya "Little Children", sementara poster film ini bergambar persetubuhan Kate Winslet dan UUUU. perhatikan juga permasalahan-permasalahan yang dibangun lewat

Labels:

My personal blog: Female Leviathan

http://oengoemeloeloe.blogspot.com
just my silly piece of crap!

Marie Antoinette (2006): Revolusi Karya Klasik

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Drama
Suatu hari di sebuah pelatihan sinema di fakultas ilmu budaya di universitas negri paling bergengsi di Depok, seorang dosen bergelar master dalam bidang susastra yang menjadi pembicara berkata "tidak termaafkan ketika dalam film bersetting abad 18 tapi terdapat jam tangan modern". Lalu pikiran saya beralih pada film yang disutradarai oleh Sophia Coppolla ini. "Bukankah semua itu bila dilakukan dengan sengaja oleh sutradara pasti sang sutradara ingin menunjukkan hal tertentu? Bukankah pasti ada makna yang ingin disampaikan?" sanggah saya kepada dosen dari jurusan perancis tersebut. Cukup mengagetkan bagi forum diskusi, karena saya satu-satunya mahasiswa S1 yang mengikuti pelatihan (Yang lain minimal mahasiswa S2 dan dosen-dosen dari universitas lain) dan akhirnya mengajukan pertanyaan kritis pertama dalam forum (Sebelumnya pertanyaan-pertanyaan yang muncul hanya sebatas teknis 'membaca' sebuah film. Huh bosan! You can get it simply by reading cinematrography and film studies book) lalu saya memberikan contoh film ini untuk mendukung argumen "Dalam Marie Antoinette yang bersetting pra revolusi Perancis, musik pengiring yang digunakan Coppola adalah musik pop alternatif masa kini. Tulisan di posternya saja sudah memakai font nyentrik, dan bila jeli, anda bisa menemukan sebuah sepatu sneakers berada di sela-sela sepatu-sepatu vintage pada masa itu. Malah kalau saya tidak salah, rasanya saya melihat handphone. memang sih, hanya satu atau dua detik disorot kamera. Tapi saya yakin itu bukan karena kelalaian sutradara, tetapi karena apa yang ingin ditekankan oleh sutradara adalah bahwa sesungguhnya Marie Antoinette masih ABG yang spirit hidupnya sama seperti ABG masa kini. Hal yang sama juga terjadi pada film Iron Jawed Angels yang saya lupa sutradaranya siapa." Dosen tersebut membenarkan saya, dan menambahkan "Ya, kesengajaan-kesengajaan tersebut juga menekankan bahwa film Marie Antoinette , meskipun berdasarkan tokoh sejarah, tetap sebuah karya fiksi". Sepertinya sedikit berlawanan dengan pernyataan dia sebelumnya, bukan? Saya hanya memaklumi, jurusan Perancis memang terkenal sangat setia dengan isu-isu konservatif dalam sastra, berbeda dengan jurusan Inggris yang akrab bergumul dengan postmodernisme dan isu-isu kontemporer sastra.

Kejeniusan Copolla dalam setiap karyanya adalah bagaimana ia menyembunyikan adegan-adegan penting dan menyajikan adegan-adegan yang tidak penting. Ingat Lost in Translation? Menontonnya membuat anda terus bertanya-tanya tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada diri tokoh utama dalam kesendiriannya di sebuah negara asing. Tidak ada voice over narration yang benar-benar mantap mengungkapkan isi hati mereka, yang ada hanyalah gambaran-gambaran suasana. Lewat Marie Antoinette juga, Copolla memaksimalkan kekuatan visual dan simbolisasi untuk menyampaikan makna pada 'pembaca' film.

Copolla juga berhasil meruntuhkan pakem-pakem yang berlaku dalam membuat sebuah film berdasarkan sejarah atau bersetting klasik (yang serta merta sering disebut film sejarah atau klasik). Tidak sering kita melihat pewarnaan film yang "kinclong" di film-film bersetting klasik, biasanya film (bersetting) klasik bermain-main dengan warna-warna redup dan nyaris sephia untuk membangun nuansa vintage lewat pewarnaan. Sama seperti pilihan musik yang "nyentrik", Copolla juga nekad bermain-main dengan editing yang relatif 'cepat' untuk film drama. Menontonnya mengingatkan saya pada film-film chick-flick yang dibintangi Reese Witherspoon. Mungkin memang itulah yang sengaja ingin ditampilkan oleh Copolla, semangat ABG dalam diri seorang tokoh dalam sejarah Marie Antoinette, sekedar mengingatkan bahwa dosa-dosa yang dilakukan Marie Antoinette semata-mata karena karakter naif yang selayaknya dimiliki seorang anak ABG.

Jangan harap anda bisa menemukan informasi-informasi yang anda inginkan tentang revolusi Perancis lewat film ini. Tidak ada adegan keluarga kerajaan dieksekusi, yang ada adalah permasalahan Marie Antoinette berusaha adaptasi dengan rumah barunya, pergaulan sosialnya di istana Versailles, dan masalah ranjang antara Marie Antoinette dan Henry VI. Jangan dulu kecewa dan melabeli karya ini sebagai film sejarah yang gagal. Karena, bila anda mencari fakta sejarah lebih baik anda ke perpustakaan dan membaca buku-buku tentang revolusi perancis. Bila anda ingin melihat sebuah karya tentang permasalahan psikologis seorang anak ABG yang harus memenuhi kewajibannya sebagai ratu, silahkan mencari DVD ini (theramehta)

Nilai: 8 (Skala 1-10)

Labels:

Saturday, March 24, 2007

Morrison

Kalo gue punya anak, pasti akan gue kasi nama "Morrison". Entah nama depan, tengah atau belakang _ entah cewe ato cowo, pokoknya "Morrison". Karena gue banyak menemukan orang-orang hebat bernama Morrison, terutama dalam dunia literatur. Sebut aja:

Jim Morrison

Blake Morrison

Toni Morrison

Hmmm... selain itu, I think "Morrison" is such a cool name. Bisa kasi nama pendek "Morry" atau "Momo" (Sounds like Japanesse). Lucu kalo disambungin pake nama khas Indonesia kali yah... seperti "Cempaka Morrison", "Manik Morrison", "Diaz Morrison", "Joko Morrison", "Aminah Morrison", hehehe.. apalah... gue juga sempet pengen manain mana anak pake nama latin dari tumbuh-tumbuhan seperti zea mays (artinya jagung) atau mimosa pudica (putri malu). Jadilah "Zea Mays Morrison" atau "Zea Morrison Mays". Bisa juga "Mimosa Morrison" huehehe. Itulah nama anak gue ntar.

Pertanyaannya... apakah emang gue mao punya anak??? Dududu...



Labels:

Tonight tonight tonight, this morning I mean...

Malam ini di depan komputer ditemani malboro merah hasil nyolong rokok bokap dan sepiring opera cake yg "entah-milik-siapa-tp-siapa-suruh-ada-di-kulkas-jadi-gue-makan-aja". and yea.. another night with my jim morrison (currently listening to "when the music's over"- the doors)

supposedly... 100% in to skripsi
however it turns out to be
80% internet 20% skripsi
or 99% internet and 1% skripsi?
oh what should I do? what should I do?

Tuhan tolong bikin gue sepuluh kali lipat lebih pinter dan rajin dr pd sekarang!!! This lazyness is somewhat killing me!!! uurgh!!!

Pengen masuk ke kamar yg gak ada dimensi waktunya...sendirian... pengen lupa sama semua masalah dan tanggung jawab 5 meniiit aja (kemaren gw minta 15 menit tp gak dikasih sedetik pun ama Tuhan, jd gw korting lg deh permohonannya) gue pengen lupain skripsi, masalah di rumah, masalah kerjaan, dll... sebentaaar ajaa! hanya buat nenangin diri gw doang...

Gue pengen, untuk sesaat aja, bisa merasa nikmat tanpa substansi apapun dan tanpa ganguan apapun... gue mao jadi seperti patung Buddha yang gendut dan damai bahagia....


Thursday, March 22, 2007

Drizzle of Words: A Quick Preview: wonderbra's Crossing the Railroad

Wednesday, March 21, 2007

"Sepotong Penis untuk Ida"




Live @ Kulturaholic 2006

Labels:

Saturday, March 17, 2007

Wonderbra's myspace page

Places to Get WONDERBRA's 1st Album 'Crossing the Railroad'


Hi all... you can get WONDERBRA's 1st Album in These Stores!!!

JAKARTA: Soho music store (Plasa Semanggi), Racerkids Distro (Pancoran), Bloop Distro (Tebet), Hey Folks Distro (Mayestik)

DEPOK: Liquid Music Store (Margonda), Fashionfreak Distro, Kopma FIB UI.

BANDUNG: Soho Music Store (Ciwalk), Harder Distro, Riotic Distro.

BEKASI: Chapter 9 Distro (LIA Kali-Malang)


Contact person: Erik  08161465054 (manager)


Cheers! And keep the blues rockin'!

Labels:

joplin's wardrobe




loovveee her wadrobe~!!!

Labels:

A Clockwork Orange (1962): "What is it going to be then, eh?"

Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Anthony Burgess
This is the corpus of my thesis. Yep, I choose this book out of hundreds I've read for so many reasons.

Kebanyakan orang pasti lebih tau filmnya yang disutradarai Stanley Kubrick tahun 1971 dibanding buku originalnya. Dan kebanyakan dari temen-temen yang tergila-gila sama filmnya sebenernya kurang melihat esensi dibalik cerita Clockwork Orange ini, terbukti dari alasan mereka "Keren banget settingnya!" atau "Soalnya karyanya Kubrick sih...". No offense to Kubrick's fans out there, I'm a Kubrick fan as well. I won't blame them of course, butuh close reading gila-gilaan untuk bisa melihat itu, dan sudah jadi tugas saya untuk berbagi (since it's part of mys study)

Yang pasti saya tidak akan menjadi spoiler disini. Saya tidak akan menceritakan plot ceritanya, tapi akan memberi alasan kenapa menurut saya karya ini adalah sebuah masterpiece, dan kenapa saya melihat Burgess sebagai seorang penulis yang luar biasa ajaib.

Yang pertama, kekayaan tema di dalam novel ini. Burgess berhasil mengangkat permasalahan filosofis free will (kehendak bebas) vs morality. Pertanyaan seperti: apakah lebih baik menjadi masyarakat yang terkontruksi oleh moralitas atau menjadi manusia utuh yang memiliki kehendak bebas sebebas-bebasnya meskipun dapat merugikan orang lain? Esensi dari hidup sebagai seorang manusia yang utuh adalah kebebasan, pelepasan diri dari semua aturan, mungkin banyak orang yang setuju itu. Kemudian sampai sejauh manakah kebebasan itu harus diusung? Sampai batas manakah moralitas masyarakat berhak merepresi kebebasan manusia, keutuhan esensi dalam arti menjadi manusia? Dilema ini digambarkan Burgess dengan menariknya pada titik seekstrim mungkin, dengan karakter Alex yang ugal-ugalan berbuat seenak jidatnya dan pemerintah hipokrit yang mencoba mem-brainwash Alex dengan ludovico technique dan merepresi kehendak bebasnya.

Selain tema utama tentang free will dan morality, Burgess juga dengan apik mengangkat permasalahan youth culture - sub culture. A Clockwork Orange sudah sejak lama menjadi karya pendorong gerakan-gerakan anti kemapanan, terutama pada subkultur skinhead di Inggris (bahkan di Indonesia). Bersandingan dengan tema youth culture yang diangkat, tema growing up juga tidak boleh dilupakan. Kejeniusan Burgess dalam mengemas tema ini terletak pada segi linguistik buku ini dan strukturnya (nggak heran, he is a linguist afterall). Budaya anak muda digambarkan dengan nadsat language, yaitu bahasa slang yang diciptakan Burgess dengan mengkombinasikan bahasa Rusia dengan cockney English. hasilnya? Sebuah bahasa penggambaran culture anak muda yang original dan timeless, tidak termakan masa, yang pada akhirnya juga membawa buku ini ke dalam imortalitas bahasa nadsat. Burgess bisa saja mengambil slang dari budaya mod atau rockers yang berkembang di Inggris pada masa ia menulis novel ini, tetapi ia memilih untuk menciptakannya sendiri untuk alasan-alasan tersebut. And yes, it works. A Clockwork Orange masih dibaca sampai era 2000an saat ini.

Tema growing up juga ditunjukkan oleh struktur novel yang sangat matang. Novel ini terdiri dari 3 bagian, masing-masing bagian terdiri dari 7 bab yang ketika dijumlah hasilnya 21 bab. Sebuah angka simbol pendewasaan seorang anak laki-laki di Inggris pada masa 60an.

Hal lain yang juga menarik adalah kekerasan dalam karya ini. Kekerasan disini menjadi alat untuk aktualisasi diri, sebuah proses pencarian jati diri Alex dan geng nya. Kekerasan juga menggambarkan tema distopia dalam novel, seperti novel 1984 karya George Orwell, karya ini merupakan kritik terhadap negara yang penuh dengan hipocracy sebagai sebuah efek dari industrialisasi besar-besaran.

Hal yang menjadikan buku ini tidak kalah menarik dengan filmnya adalah keutuhan plot cerita original. Dalam film yang dibuat oleh Kubrick, Kubrick tidak menyertakan bab 21 dari novel ke dalam screenplay untuk alasan "konsistensi cerita". Padahal, kesimpulan dari keseluruhan cerita A Clockwork Orange terdapat pada bab 21 dari novel ini.

Kehebatan Burgess terletak pada bagaimana ia menciptakan Alex, karakter yang cukup ajaib untuk menggambarkan semua isu yang diangkat dalam novel. membaca novel ini membuat saya bingung apakah saya harus simpati atau malah mengutuknya. Tidak ada manusia baik dan manusia jahat, yang ada hanya manusia yang menjadi korban, tak terkecuali Alex. Korban dari bentukan masyarakat yang hipokrit, korban budaya kekerasan, bahkan korban dari kebebasan pikiran.

Jangan harap bisa membaca novel ini dengan santai dan menemukan makna-makna di dalamnya dengan mudah, dan jangan harap bisa menemukan buku terjemahan Indonesianya. Semua ini karena bahasa nadsat yang bisa bikin pusing, but don't worry, kamus nadsat sudah ada di wikipedia.

Saya bingun sekali dengan label apakah saya harus memvonis novel ini. Distopian novel? Youth culture novel? Coming off age novel? Science fiction novel? Ethical philosophy novel? Semuanya masuk-masuk saja. Apa yang saya tulis baru sedikit dari apa yang bisa digali dari novelnya. Adakah pertanyaan? Misalnya, kenapa judulnya A Clockwork Orange? I would be gladly to discuss... :-)

Sooo, "What is it going to be then, eh?" (Alex's famous phrase)


Nilai: 9,5 (Skala 1-10)
NB: maaf penilaian ini sangat subjektif, tapi saya benar-benar tidak menemukan kecacatan dalam novel ini kecuali tingkat kesulitan pembacaan yang benar-benar tinggi. Tapi lagi-lagi, apakah itu sebuah kekurangan?

Labels: ,