Rating: | ★★★★★ |
Category: | Books |
Genre: | Literature & Fiction |
Author: | Anthony Burgess |
This is the corpus of my thesis. Yep, I choose this book out of hundreds I've read for so many reasons.
Kebanyakan orang pasti lebih tau filmnya yang disutradarai Stanley Kubrick tahun 1971 dibanding buku originalnya. Dan kebanyakan dari temen-temen yang tergila-gila sama filmnya sebenernya kurang melihat esensi dibalik cerita Clockwork Orange ini, terbukti dari alasan mereka "Keren banget settingnya!" atau "Soalnya karyanya Kubrick sih...". No offense to Kubrick's fans out there, I'm a Kubrick fan as well. I won't blame them of course, butuh close reading gila-gilaan untuk bisa melihat itu, dan sudah jadi tugas saya untuk berbagi (since it's part of mys study)
Yang pasti saya tidak akan menjadi spoiler disini. Saya tidak akan menceritakan plot ceritanya, tapi akan memberi alasan kenapa menurut saya karya ini adalah sebuah masterpiece, dan kenapa saya melihat Burgess sebagai seorang penulis yang luar biasa ajaib.
Yang pertama, kekayaan tema di dalam novel ini. Burgess berhasil mengangkat permasalahan filosofis free will (kehendak bebas) vs morality. Pertanyaan seperti: apakah lebih baik menjadi masyarakat yang terkontruksi oleh moralitas atau menjadi manusia utuh yang memiliki kehendak bebas sebebas-bebasnya meskipun dapat merugikan orang lain? Esensi dari hidup sebagai seorang manusia yang utuh adalah kebebasan, pelepasan diri dari semua aturan, mungkin banyak orang yang setuju itu. Kemudian sampai sejauh manakah kebebasan itu harus diusung? Sampai batas manakah moralitas masyarakat berhak merepresi kebebasan manusia, keutuhan esensi dalam arti menjadi manusia? Dilema ini digambarkan Burgess dengan menariknya pada titik seekstrim mungkin, dengan karakter Alex yang ugal-ugalan berbuat seenak jidatnya dan pemerintah hipokrit yang mencoba mem-brainwash Alex dengan ludovico technique dan merepresi kehendak bebasnya.
Selain tema utama tentang free will dan morality, Burgess juga dengan apik mengangkat permasalahan youth culture - sub culture. A Clockwork Orange sudah sejak lama menjadi karya pendorong gerakan-gerakan anti kemapanan, terutama pada subkultur skinhead di Inggris (bahkan di Indonesia). Bersandingan dengan tema youth culture yang diangkat, tema growing up juga tidak boleh dilupakan. Kejeniusan Burgess dalam mengemas tema ini terletak pada segi linguistik buku ini dan strukturnya (nggak heran, he is a linguist afterall). Budaya anak muda digambarkan dengan nadsat language, yaitu bahasa slang yang diciptakan Burgess dengan mengkombinasikan bahasa Rusia dengan cockney English. hasilnya? Sebuah bahasa penggambaran culture anak muda yang original dan timeless, tidak termakan masa, yang pada akhirnya juga membawa buku ini ke dalam imortalitas bahasa nadsat. Burgess bisa saja mengambil slang dari budaya mod atau rockers yang berkembang di Inggris pada masa ia menulis novel ini, tetapi ia memilih untuk menciptakannya sendiri untuk alasan-alasan tersebut. And yes, it works. A Clockwork Orange masih dibaca sampai era 2000an saat ini.
Tema growing up juga ditunjukkan oleh struktur novel yang sangat matang. Novel ini terdiri dari 3 bagian, masing-masing bagian terdiri dari 7 bab yang ketika dijumlah hasilnya 21 bab. Sebuah angka simbol pendewasaan seorang anak laki-laki di Inggris pada masa 60an.
Hal lain yang juga menarik adalah kekerasan dalam karya ini. Kekerasan disini menjadi alat untuk aktualisasi diri, sebuah proses pencarian jati diri Alex dan geng nya. Kekerasan juga menggambarkan tema distopia dalam novel, seperti novel 1984 karya George Orwell, karya ini merupakan kritik terhadap negara yang penuh dengan hipocracy sebagai sebuah efek dari industrialisasi besar-besaran.
Hal yang menjadikan buku ini tidak kalah menarik dengan filmnya adalah keutuhan plot cerita original. Dalam film yang dibuat oleh Kubrick, Kubrick tidak menyertakan bab 21 dari novel ke dalam screenplay untuk alasan "konsistensi cerita". Padahal, kesimpulan dari keseluruhan cerita A Clockwork Orange terdapat pada bab 21 dari novel ini.
Kehebatan Burgess terletak pada bagaimana ia menciptakan Alex, karakter yang cukup ajaib untuk menggambarkan semua isu yang diangkat dalam novel. membaca novel ini membuat saya bingung apakah saya harus simpati atau malah mengutuknya. Tidak ada manusia baik dan manusia jahat, yang ada hanya manusia yang menjadi korban, tak terkecuali Alex. Korban dari bentukan masyarakat yang hipokrit, korban budaya kekerasan, bahkan korban dari kebebasan pikiran.
Jangan harap bisa membaca novel ini dengan santai dan menemukan makna-makna di dalamnya dengan mudah, dan jangan harap bisa menemukan buku terjemahan Indonesianya. Semua ini karena bahasa nadsat yang bisa bikin pusing, but don't worry, kamus nadsat sudah ada di wikipedia.
Saya bingun sekali dengan label apakah saya harus memvonis novel ini. Distopian novel? Youth culture novel? Coming off age novel? Science fiction novel? Ethical philosophy novel? Semuanya masuk-masuk saja. Apa yang saya tulis baru sedikit dari apa yang bisa digali dari novelnya. Adakah pertanyaan? Misalnya, kenapa judulnya A Clockwork Orange? I would be gladly to discuss... :-)
Sooo, "What is it going to be then, eh?" (Alex's famous phrase)
Nilai: 9,5 (Skala 1-10)
NB: maaf penilaian ini sangat subjektif, tapi saya benar-benar tidak menemukan kecacatan dalam novel ini kecuali tingkat kesulitan pembacaan yang benar-benar tinggi. Tapi lagi-lagi, apakah itu sebuah kekurangan?
Labels: bookreview, clockworkorange