Wednesday, October 10, 2007

Why Teaching?

Apakah pernah sekali aja dalem hidup gue gue kepikiran untuk menjadi pengajar? Jawabannya pernah, tapi gue sendiri nggak nyangka kalo ternyata gue akan seserius ini. Dari kecil cita2 gw bejibun. Dulu bgt, gue pernah pengen jadi astronot. Terus, beralih pengen jadi methematician (wuiiihh...) Habis itu gue pengen jadi pelukis. Setelah pupus harapan jadi pelukis gue memutuskan untuk jadi penulis (yang sampe sekarang masih jadi cita-cita gue, tapi gue merasa masih harus banyak belajar). Diantara banyak cita-cita itu, pikiran untuk menjadi guru muncul sesekali.

Lalu, pelan-pelan keinginan untuk jadi pengajar itu nambah dikit-dikit. Pertama-tama lewat banyak guru-guru inspirasional yg gue temuin selama gue sekolah terutama sejak di SMA dan kuliah. Ketemu mereka bikin gue pengen jadi kaya mereka. Terus ketemunya gue dengan guru-guru yang mble'e (bersama dengan sistem pendidikan indo yg juga mble'e mereka kompak bgt!) bikin gue terbakar, pengen ngebenerin sistem (I know I know! I'm such a utopist~!) Trus, bisa dibilang gue jadi pengen mengajar gara-gara film berikut: Monalisa's Smile, Dead Poet Society, High School High (whahaha...), The Choirs (Film perancis), etc... Selain film, gue juga terpengaruh oleh banyak novel yang bicara soal coming-of age dan education.

Gue bertemen dengan banyak orang yg apatis, tapi nggak bikin gue ikut apatis. Salah satu temen deket gue yg terlalu byk baca Nietzche menganggap bahwa manusia membutuhkan orang bodoh untuk membuat dirinya merasa pintar (karena kita hidup dalam belantara oposisi), termasuk guru yg butuh meapaparkan ilmunya pada murid murid yg masih naif karena butuh jadi role model, butuh dianggap pintar oleh org lain (ini atas respon dia karena gue kebanyakan ngeluh tentang betapa mahasiswa gue dan murid-murid gue di SD Tarki 1 hampir sama pinter)  dan menurut temen gue itu, it's useless trying to change the world by teaching, the system will always be the system. Even teaching is  part of the system, so as a teacher, I am part of the sistem...

Ini yg gue gak setuju. Pertama, gue ngajar bukan karena kebutuhan gue atas pengen merasa pinter dengan adanya orang-orang yg (maaf, gue cuma make bahasa temen gw) bodoh di sekitar gw (nggak kok.. .murid murid gue pinter-pinter semuaa... ) I need to be involved in the system in order to fix the system... be in it, and learn from the mistakes. Kedua, sampe saat ini, meskipun gue juga pembaca Nietzche, gw gak menjadi sepesimis itu, gue tetep percaya bahwa small changes matter! And btw, I'm not really trying to change the world (since I'm not ms.universe), I'm trying to change myself into a better person by teaching, and I teach because I still need to learn. Teaching is the best way to learn...

When I teach kindergarten and elementary school, I learn more from my students than  my book. And I bet they didn't learn much from me (I'm a lousy teacher). So... who needs stupidity? I don't need it since I see myself as a stupid person! This is why I want to be a teacher. it is I who needed to learn from life... and this is why I teach.

Labels:

Sunday, June 10, 2007

Mencatat Budaya Musik, Mengabadikan Momentum, Menggaris Sejarah (Keprihatinan Gue Atas "Orang Musik" Arogan Yang Gak Ngerti Pentingnya Penelitian Akademis)

Pada suatu hari, manager saya memperkenalkan saya pada seorang teman, dia adalah mahasiswa dari jurusan antropologi Universitas indonesia yang sedang menulis skripsi (sebasib dan seperjuangan dengan saya). Lucunya, anak antropologi ini menulis skripsi dengan tema subkultur independen, yang (kalau tidak salah) dikhususkan pada meneliti budaya dan fenomena modern darlings (yea, u right, the upstrairs' people). Metode pengumpulan datanya kebetulan adalah dengan wawancara. Orang-orang yang ada dalam daftar wawancara itu adalah orang-orang yang secara kebetulan tenggelam dalam dunia musik indie...

Orang pertama yang diwawancara adalah seorang "pentolan" dari sebuah label musik independen yang sudah sangat ternama. Tidak ada yang tidak tahu orang ini, karena reputasinya yang berhasil mengangkat nama band-band indie ternama lewat labelnya. Mengejutkan sekali, dia memberi komentar negatif soal penelitian mahasiswa antropologi ini, intinya, menurut si "pentolan", kalau bukan orang musik gak akan bisa nulis tentang ini. Well, of course, si mahasiswa ini nge-drop berat, patah semangat, dan itulah kenapa manager saya memperkenalkan dia dengan teman-teman band saya agar di-encourage lagi dalam menulis skripsinya.

Saya sangat prihatin dan kesal. Memangnya dia kira dia siapa? Okay… dia berjasa dalam memajukan dunia per-indie-an lewat labelnya, tapi dengan berkata begitu berarti dia menyepelekan semua akademisi, ehm, termasuk saya. Sayang sekali, mungkin karena sudah silau dengan ketenaran dan kesuksesannya, dia jadi sesombong itu. Saya sangat menyayangkan sikapnya yang sangat arogan itu, dan menurut saya dia sangat berpikiran sempit... Ada beberapa hal yang perlu saya garisbawahi di sini:

Pertama, skripsi, walaupun sebatas tulisan akademis, tapi tetap sebuah tulisan. Dan lewat tulisan lah manusia mengenal sejarah, lewat tulisan lah peristiwa2 hebat terekam dan menjadi dokumentasi yang penting. Tau nggak? sebenernya ada bukti-bukti arkeologi yang menyatakan bahwa suku Bugis sudah mengarungi laut sampai ke Benua Australia jauh sebelum James Cook datang. Tapi siapa yang dinyatakan penemu Benua Australia? tentu saja James Cook. Tahu kenapa? Karena James Cook menulis jurnal sejarah, yang kemudian menjadi catatan atau pembuktian yang berlaku sampai sekarang, sementara suku Bugis pada saat itu tidak.

Kedua, siapa yang nggak setuju kalau The Beatles adalah band yang abadi? Yup, The Beatles adalah band yang sampai sekarang pun tidak pernah habis termakan masa. Mau tahu kenapa? Bukan hanya karena karya-karya mereka yang luar biasa itu didokumentasikan lewat record musiknya, tetapi karena banyak sekali penulis yang mengabadikan fenomena tersebut lewat menulis buku tentang kehidupan The Beatles, atau fenomena The Beatles ke dalam konteks budaya Inggris pada masa itu. Bukan hanya Inggris, tetapi Amerika juga. The British Invasion adalah sebuah fenomena budaya musik yang terjadi di Amerika Serikat,  dan The Beatles dinilai sebagai salah satu penyeban yang paling dominan atas pergerakan budaya tersebut. Ya, musik bukan sekedar musik, musik adalah sejarah dan budaya, Amerika terkenal sebagai negara yang bangga dengan nasionalisme-nya, dan berhasilnya musik Inggris meng-invasi musik Amerika pada tahun 60an (era klasik) adalah sebuah pembuktian atas keterbukaan Amerika Serikat terhadap budaya asing. Terbukti bahwa yang membesarkan nama The Beatles bukan hanya musiknya, tetapi fenomena budaya yang mengiringinya, dan tentu saja, sekelompok akademisi dan penulis yang menyadari hal tersebut dan merekamnya ke dalam tulisan, penelitian budaya, karya, buku, dan lain-lain. 

Ketiga, sungguh sebuah hal yang membanggakan bahwa saat ini ada gambaran fenomena budaya seperti The Upstairs dan modern darlingsnya. Banyak hal yang dapat digali dari fenomena ini dan sangat menarik sebagai sumber penelitian. Tentu saja analisis seperti ini di luar musik, dan lebih pada analisis budaya dan ilmu sosial. Misalnya, identitas seperti apa yang ingin disampaikan oleh The Upstairs lewat fashion statement mereka? (Ini juga bisa jadi tema skripsi, ada yang tertarik?) Apakah perlu menjadi ‘orang musik’ untuk bisa menuliskan fenomena ini dengan baik? Menurut saya tentu saja tidak. Justru karena ‘bukan orang musik’, sang penulis akan bisa menganalisa dari  sudut pandang yang berbeda, dan bisa mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperolehnya atas studi sosialnya ke dalam kehidupan nyata dan terjadi saat ini. Misalnya, menggunakan teori-teori yang didapatkannya dari ilmu yang sudah dikenalnya selama kuliah.

Dokumentasi musik bukan hanya dari album rekaman. Musik seharusnya lebih dari sekedar musik, musik adalah bagian dari budaya. Musik bisa menjadi bagian dari sejarah pergerakan budaya yang memiliki momentum tertentu, dan untuk mengabadikan momentum tersebut, di sanalah para penulis memiliki peran. Penulis, peneliti, kritikus, wartawan, maupun akademisi, mereka mungkin belum tentu orang musik, tapi sadarlah betapa pentingnya kehadiran mereka dalam mencatat fenomena budaya yang sedang terjadi di negara kita saat ini.

Jadi yang terhormat ‘tuan arogan dari sebuah label independen’, kalau memang anda sehebat ‘nama’ yang dibawa anda selama ini, kalau memang anda merasa berhak menyepelekan seorang akademisi yang tergerak hatinya untuk mengabadikan momentum bersejarah dalam budaya musik di negara kita tercinta ini, kenapa bukan anda saja yang menulis? Saya bersedia jadi editor anda secara cuma-cuma, dan saya sarankan judulnya “Pengaruh Sikap Arogansi Pentolan ‘Indie’ Terhadap Kemunduran Musik Independen di Indonesia”.

Labels:

Monday, April 30, 2007

Meluruskan Feminisme

Feminisme, satu kata yang mengerikan bagi banyak orang awam. Sebagian mengangap feminisme itu sesat, sementara sebagian lainnya mengganggap bahwa yang namanya feminis pasti lesbian, sekelompok perempuan gahar, atau anti laki-laki. Banyak pula yang salah kaprah tentang apa itu sebenarnya feminisme, apa tujuannya dan apakah masih diperlukan di abad 21 ini.

Seorang teman berkomentar: bukankah saat ini perempuan sudah lebih leluasa dan gerakan feminis sudah tercapai? Lalu buat apa masih ada feminisme? Apakah ingin mendahului laki-laki? Perempuan saat ini sudah dapat bergerak dalam ruang-ruang publik yang sebelumnya dikuasai oleh laki-laki: pendidikan, sains, politik, sosial, dan lain-lain. Saya tidak akan menyangkal hal tersebut. Ada juga beberapa teman "anti-feminis" yang berargumen menentang gerakan feminis: perempuan dan laki-laki memang berbeda, dan memang memiliki perannya masing-masing yang sudah tertata dalam agama. Baiklah, saya terima saja pendapat tersebut, tetapi hal lain yang harus saya tulis disini adalah: diskusi dan perdebatan akan tertutup bila mau bicara agama, tidak perlu lagi ada pembahasan lebih lanjut, dan bukan inilah yang saya inginkan. Saya memilih berargumen dengan logis dan rasional tanpa menyangkut-pautkan agama, tokh, tidak semua orang harus beragama selama masih bisa hidup bersosial dengan baik. Argumen yang mencari 'back-up' agama bagi saya hanyalah jalan pintas yang terlalu praktis dan (maaf) kurang cerdas karena mengandalkan teks dogmatis. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus terima, bukankah hal tersebut terlalu shallow? Tidak ada masalah bila seseorang memakan dogma-dogma itu sendiri, tokh itu pilihannya, tetapi sebaiknya jangan bawa dogma-dogma tersebut ke ruang diskusi kritis karena semua itu sia-sia.

Feminisme dan Konteks Sosial Budaya

Kembali pada perempuan dan pergerakannya yang seringkali "mengerikan" bagi orang awam. Saya adalah perempuan yang sangat beruntung. Saya tumbuh dan besar di keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan. Orang tua saya sangat demokratis, yang menuntut saya untuk mementingkan karir dan pendidikan ketimbang "menikah dan memberikan cucu yang banyak dan lucu". Lalu apakah orang tua saya menyalahi apa yang selama ini disebut sebagai "kodrat" perempuan? Mereka tidak peduli saya perempuan, mereka lebih ingin saya berpendidikan tinggi dan meniti karir ketimbang menjalani kodrat perempuan sebagai "istri" dan "ibu" yang baik. Meskipun demikian, jikalau suatu saat saya memilih untuk menikah, beranak-pinak, dan membina rumah tangga, mereka juga pasti akan merestui. Tetapi lagi-lagi, karena semua itu adalah "pilihan" saya sebagai perempuan, bukan semata-mata "kodrat" yang memang harus saya jalankan. Itulah orang tua saya. Dalam kasus saya dan keluarga saya, cita-cita feminisme dalam permasalahan ruang publik-domestik sudah tercapai. Saya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan.


Lalu, seperti yang teman saya bilang, kalau cita-cita feminisme sudah tercapai maka buat apa lagi ada feminisme? Sepertinya teman saya ini melupakan dua hal: definisi ideologi feminis itu sendiri dan konteksnya. Seorang dosen filsafat pernah berkata pada saya, bahwa dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran apapun, kita harus selalu melihat konteks sosial masyarakatnya, karena hal itulah yang membantu persalinan pemikiran-pemikiran tersebut. Misalnya, kenapa Betty Friedan menulis "The Feminine Mistique"? karena pada saat itu budaya Amerika sedang didominasi oleh mimpi keluarga "American Dream" yaitu keluarga yang terdiri dari ayah yang perannya mencari nafkah, ibu yang perannya mengurus anak dan membenahi rumah, dan tentu saja mimpi ideal dari semua keluarga kecil bahagia: anak-anak yang manis dan lucu. Berangkat dari keadaan sosial seperti inilah yang membantu Betty Friedan melahirkan "The Feminine Mistique", artikel yang mengkritisi ruang publik-domestik bagi laki-laki dan perempuan (Bila malas baca Betty Friedan, silahkan nonton Monalisa’s Smile atau The Hours, dua film yang menurut saya berhasil menterjemahkan konsep “Feminine Mistique” dengan sangat baik).


Kenyataan bahwa semua pemikiran di dunia memiliki konteks latar belakangnya masing-masing, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah pemikiran tidak dilahirkan semata-mata oleh seorang pemikir tunggal, tetapi juga oleh konteks keadaan sosial masyarakat yang sedang dialaminya. Sama halnya dengan pergerakan feminis, dalam konteks saya dan keluarga saya mungkin memang tidak ada masalah, tetapi berbeda halnya dengan sepupu kakak ipar saya, sebut saja namanya Linda.

Linda adalah anak perempuan dari tiga bersaudara, semua saudaranya perempuan. Keluarganya datang dari golongan biasa-biasa aja, tapi Linda bisa sekolah sampai tingkat SMU, nilai sekolahnya selalu bagus, dan dia selalu ranking 3 besar. Linda ingin sekali kuliah dan meraih gelar sarjana karena Linda ingin membantu keadaan keluarganya. Tetapi ayah Linda berpendapat: "kamu kan cewek, ngapain cewek sekolah? Udah sana, mending cepet2 cari suami kaya! dasar perempuan jaman sekarang banyak maunya!". Bukan hanya itu, beberapa lama kemudian, ayah Linda propose untuk melakukan poligami dengan alasan ingin mempunyai anak laki-laki. padahal, untuk menafkahi satu keluarga saja sulit, apalagi ketika harus berbagi dengan istri muda?

Dalam konteks Linda, semangat feminisme masih sangat diperlukan, terutama feminis liberal yang menitik beratkan pada pembatasan ruang publik dan domestik, dan pada pendidikan. Dalam konteks saya, mungkin yang saya pikirkan sudah mulai ke tahap eksistensi (kalau dalam teori feminisme, ada pada gelombang II), sementara Linda, masih membutuhkan feminisme tahap awal yaitu feminisme liberal (ada pada gelombang I). Jadi, apakah feminisme sudah mencapai cita-citanya dan sudah tidak diperlukan lagi? Lagi-lagi, semua itu tergantung konteks, keadaan apa, di mana, dan dalam kasus apa. Di Indonesia sendiri, menurut saya, semangat feminisme masih sangat dibutuhkan.

Semangat Feminisme: Harus Intelektual, Bukan Emosional

Satu hal lagi kekeliruan yang seringkali menjadikan kata feminisme sebagai hal yang tabu: definisi. Bedakan definisi intelektual dan emosional. Ada seorang teman yang mengaku feminis namun berkata "sefeminis-feminisnya seorang cewek, gue percaya tetep aja kodratnya dibawah laki-laki. Feminis itu kan pokoknya emansipasi wanita, yang penting cewek sekarang bisa maju, gitu kan?". Rasanya saya terjungkal mendengarnya, konyol sekali! Mungkin dia sudah memiliki semangat dan kesadaran feminis, sayangnya kesadaran dan semangat ini sifatnya emosional, tidak diimbangi dengan pengetahuan intelektual.

Banyak juga feminis emosional yang serta-merta menjadi sangat membenci laki-laki dan menganggap laki-laki sebagai musuh. “Laki-laki brengsek! Dunia lebih indah tanpa laki-laki” kata seorang teman yang ayahnya sering melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap dia dan ibunya. Inilah yang mengerikan dan membuat kata feminisme terdengar tabu bagi banyak orang awam. Seolah-olah gerakan feminisme adalah gerakan anti laki-laki yang ingin memberantas semua laki-laki dari muka bumi ini. Saya mengerti perasaan dan penderitaan perempuan-perempuan korban kekerasan seperti teman saya tersebut, tetapi feminisme emosional seperti ini mengakibatkan banyak orang yang merasa takut dan memandang feminisme dengan sinis, seolah-olah feminisme adalah sebuah gerakan radikal yang ingin melakukan revolusi sistem power-relation yang sangat ekstrim: perempuan harus lebih berkuasa dari pada laki-laki.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dan dipelajari lagi oleh mereka, apakah tujuan feminisme sebenarnya? Bagi saya secara personal, tujuan feminisme adalah merubah sistem yang patriarkal menjadi sebuah sistem yang netral dan bebas dari bias gender apapun sehingga apapun jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, mereka tetap memiliki hak dan kesempatan yang sama. Jadi, tujuan feminisme bukanlah perempuan harus berada di atas laki-laki, tetapi bagaimana perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi satu sama lain tanpa adanya diskriminasi bias gender. Jenis kelamin boleh berbeda, tetapi diskriminasi gender harus dimusnahkan, semata-mata atas satu argumen: perempuan dan laki-laki adalah sama, manusia.

Para feminis emosional harus belajar, bahwa sistem lah yang harus dilawan, bukan kaum laki-laki. Ayah teman saya yang suka memukul istri dan anaknya itu juga merupakan korban, karena pola pikirnya yang terbelenggu sistem patriarkhi lah yang menjadikan dia seorang manusia pengecut yang suka memukul istri dan anak-anaknya sendiri. Bagian dari sistem ini tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan yang pola pikirnya masih terikat dengan sistem tersebut. Misalnya, perempuan yang masih berpendapat bahwa memang sudah seharusnya kaum perempuan dibawah laki-laki.

Jadi wahai feminis-feminis yang emosional, mari-mari, pelajarilah lagi esensi feminisme dengan pikiran yang rasional sehingga feminisme tidak lagi menjadi kata yang mengerikan bagi orang awam. Lakukan perjuangan bukan secara emosional, tetapi secara intelektual. Dan bagi mereka para ‘anti-feminis’ yang berargumen bahwa feminisme tidaklah lagi diperlukan, mari kita sama-sama melihat konteks masyarakat di Indonesia, dimana persentase buta huruf dan korban kekerasan masih didominasi oleh kaum perempuan.

Labels: