Monday, April 30, 2007

Meluruskan Feminisme

Feminisme, satu kata yang mengerikan bagi banyak orang awam. Sebagian mengangap feminisme itu sesat, sementara sebagian lainnya mengganggap bahwa yang namanya feminis pasti lesbian, sekelompok perempuan gahar, atau anti laki-laki. Banyak pula yang salah kaprah tentang apa itu sebenarnya feminisme, apa tujuannya dan apakah masih diperlukan di abad 21 ini.

Seorang teman berkomentar: bukankah saat ini perempuan sudah lebih leluasa dan gerakan feminis sudah tercapai? Lalu buat apa masih ada feminisme? Apakah ingin mendahului laki-laki? Perempuan saat ini sudah dapat bergerak dalam ruang-ruang publik yang sebelumnya dikuasai oleh laki-laki: pendidikan, sains, politik, sosial, dan lain-lain. Saya tidak akan menyangkal hal tersebut. Ada juga beberapa teman "anti-feminis" yang berargumen menentang gerakan feminis: perempuan dan laki-laki memang berbeda, dan memang memiliki perannya masing-masing yang sudah tertata dalam agama. Baiklah, saya terima saja pendapat tersebut, tetapi hal lain yang harus saya tulis disini adalah: diskusi dan perdebatan akan tertutup bila mau bicara agama, tidak perlu lagi ada pembahasan lebih lanjut, dan bukan inilah yang saya inginkan. Saya memilih berargumen dengan logis dan rasional tanpa menyangkut-pautkan agama, tokh, tidak semua orang harus beragama selama masih bisa hidup bersosial dengan baik. Argumen yang mencari 'back-up' agama bagi saya hanyalah jalan pintas yang terlalu praktis dan (maaf) kurang cerdas karena mengandalkan teks dogmatis. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus terima, bukankah hal tersebut terlalu shallow? Tidak ada masalah bila seseorang memakan dogma-dogma itu sendiri, tokh itu pilihannya, tetapi sebaiknya jangan bawa dogma-dogma tersebut ke ruang diskusi kritis karena semua itu sia-sia.

Feminisme dan Konteks Sosial Budaya

Kembali pada perempuan dan pergerakannya yang seringkali "mengerikan" bagi orang awam. Saya adalah perempuan yang sangat beruntung. Saya tumbuh dan besar di keluarga yang berkecukupan dan berpendidikan. Orang tua saya sangat demokratis, yang menuntut saya untuk mementingkan karir dan pendidikan ketimbang "menikah dan memberikan cucu yang banyak dan lucu". Lalu apakah orang tua saya menyalahi apa yang selama ini disebut sebagai "kodrat" perempuan? Mereka tidak peduli saya perempuan, mereka lebih ingin saya berpendidikan tinggi dan meniti karir ketimbang menjalani kodrat perempuan sebagai "istri" dan "ibu" yang baik. Meskipun demikian, jikalau suatu saat saya memilih untuk menikah, beranak-pinak, dan membina rumah tangga, mereka juga pasti akan merestui. Tetapi lagi-lagi, karena semua itu adalah "pilihan" saya sebagai perempuan, bukan semata-mata "kodrat" yang memang harus saya jalankan. Itulah orang tua saya. Dalam kasus saya dan keluarga saya, cita-cita feminisme dalam permasalahan ruang publik-domestik sudah tercapai. Saya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan.


Lalu, seperti yang teman saya bilang, kalau cita-cita feminisme sudah tercapai maka buat apa lagi ada feminisme? Sepertinya teman saya ini melupakan dua hal: definisi ideologi feminis itu sendiri dan konteksnya. Seorang dosen filsafat pernah berkata pada saya, bahwa dalam mengkritisi pemikiran-pemikiran apapun, kita harus selalu melihat konteks sosial masyarakatnya, karena hal itulah yang membantu persalinan pemikiran-pemikiran tersebut. Misalnya, kenapa Betty Friedan menulis "The Feminine Mistique"? karena pada saat itu budaya Amerika sedang didominasi oleh mimpi keluarga "American Dream" yaitu keluarga yang terdiri dari ayah yang perannya mencari nafkah, ibu yang perannya mengurus anak dan membenahi rumah, dan tentu saja mimpi ideal dari semua keluarga kecil bahagia: anak-anak yang manis dan lucu. Berangkat dari keadaan sosial seperti inilah yang membantu Betty Friedan melahirkan "The Feminine Mistique", artikel yang mengkritisi ruang publik-domestik bagi laki-laki dan perempuan (Bila malas baca Betty Friedan, silahkan nonton Monalisa’s Smile atau The Hours, dua film yang menurut saya berhasil menterjemahkan konsep “Feminine Mistique” dengan sangat baik).


Kenyataan bahwa semua pemikiran di dunia memiliki konteks latar belakangnya masing-masing, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah pemikiran tidak dilahirkan semata-mata oleh seorang pemikir tunggal, tetapi juga oleh konteks keadaan sosial masyarakat yang sedang dialaminya. Sama halnya dengan pergerakan feminis, dalam konteks saya dan keluarga saya mungkin memang tidak ada masalah, tetapi berbeda halnya dengan sepupu kakak ipar saya, sebut saja namanya Linda.

Linda adalah anak perempuan dari tiga bersaudara, semua saudaranya perempuan. Keluarganya datang dari golongan biasa-biasa aja, tapi Linda bisa sekolah sampai tingkat SMU, nilai sekolahnya selalu bagus, dan dia selalu ranking 3 besar. Linda ingin sekali kuliah dan meraih gelar sarjana karena Linda ingin membantu keadaan keluarganya. Tetapi ayah Linda berpendapat: "kamu kan cewek, ngapain cewek sekolah? Udah sana, mending cepet2 cari suami kaya! dasar perempuan jaman sekarang banyak maunya!". Bukan hanya itu, beberapa lama kemudian, ayah Linda propose untuk melakukan poligami dengan alasan ingin mempunyai anak laki-laki. padahal, untuk menafkahi satu keluarga saja sulit, apalagi ketika harus berbagi dengan istri muda?

Dalam konteks Linda, semangat feminisme masih sangat diperlukan, terutama feminis liberal yang menitik beratkan pada pembatasan ruang publik dan domestik, dan pada pendidikan. Dalam konteks saya, mungkin yang saya pikirkan sudah mulai ke tahap eksistensi (kalau dalam teori feminisme, ada pada gelombang II), sementara Linda, masih membutuhkan feminisme tahap awal yaitu feminisme liberal (ada pada gelombang I). Jadi, apakah feminisme sudah mencapai cita-citanya dan sudah tidak diperlukan lagi? Lagi-lagi, semua itu tergantung konteks, keadaan apa, di mana, dan dalam kasus apa. Di Indonesia sendiri, menurut saya, semangat feminisme masih sangat dibutuhkan.

Semangat Feminisme: Harus Intelektual, Bukan Emosional

Satu hal lagi kekeliruan yang seringkali menjadikan kata feminisme sebagai hal yang tabu: definisi. Bedakan definisi intelektual dan emosional. Ada seorang teman yang mengaku feminis namun berkata "sefeminis-feminisnya seorang cewek, gue percaya tetep aja kodratnya dibawah laki-laki. Feminis itu kan pokoknya emansipasi wanita, yang penting cewek sekarang bisa maju, gitu kan?". Rasanya saya terjungkal mendengarnya, konyol sekali! Mungkin dia sudah memiliki semangat dan kesadaran feminis, sayangnya kesadaran dan semangat ini sifatnya emosional, tidak diimbangi dengan pengetahuan intelektual.

Banyak juga feminis emosional yang serta-merta menjadi sangat membenci laki-laki dan menganggap laki-laki sebagai musuh. “Laki-laki brengsek! Dunia lebih indah tanpa laki-laki” kata seorang teman yang ayahnya sering melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap dia dan ibunya. Inilah yang mengerikan dan membuat kata feminisme terdengar tabu bagi banyak orang awam. Seolah-olah gerakan feminisme adalah gerakan anti laki-laki yang ingin memberantas semua laki-laki dari muka bumi ini. Saya mengerti perasaan dan penderitaan perempuan-perempuan korban kekerasan seperti teman saya tersebut, tetapi feminisme emosional seperti ini mengakibatkan banyak orang yang merasa takut dan memandang feminisme dengan sinis, seolah-olah feminisme adalah sebuah gerakan radikal yang ingin melakukan revolusi sistem power-relation yang sangat ekstrim: perempuan harus lebih berkuasa dari pada laki-laki.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dan dipelajari lagi oleh mereka, apakah tujuan feminisme sebenarnya? Bagi saya secara personal, tujuan feminisme adalah merubah sistem yang patriarkal menjadi sebuah sistem yang netral dan bebas dari bias gender apapun sehingga apapun jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, mereka tetap memiliki hak dan kesempatan yang sama. Jadi, tujuan feminisme bukanlah perempuan harus berada di atas laki-laki, tetapi bagaimana perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi satu sama lain tanpa adanya diskriminasi bias gender. Jenis kelamin boleh berbeda, tetapi diskriminasi gender harus dimusnahkan, semata-mata atas satu argumen: perempuan dan laki-laki adalah sama, manusia.

Para feminis emosional harus belajar, bahwa sistem lah yang harus dilawan, bukan kaum laki-laki. Ayah teman saya yang suka memukul istri dan anaknya itu juga merupakan korban, karena pola pikirnya yang terbelenggu sistem patriarkhi lah yang menjadikan dia seorang manusia pengecut yang suka memukul istri dan anak-anaknya sendiri. Bagian dari sistem ini tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan yang pola pikirnya masih terikat dengan sistem tersebut. Misalnya, perempuan yang masih berpendapat bahwa memang sudah seharusnya kaum perempuan dibawah laki-laki.

Jadi wahai feminis-feminis yang emosional, mari-mari, pelajarilah lagi esensi feminisme dengan pikiran yang rasional sehingga feminisme tidak lagi menjadi kata yang mengerikan bagi orang awam. Lakukan perjuangan bukan secara emosional, tetapi secara intelektual. Dan bagi mereka para ‘anti-feminis’ yang berargumen bahwa feminisme tidaklah lagi diperlukan, mari kita sama-sama melihat konteks masyarakat di Indonesia, dimana persentase buta huruf dan korban kekerasan masih didominasi oleh kaum perempuan.

Labels:

9 Comments:

Anonymous Iman Fattah said...

very, very good article.

Monday, April 30, 2007  
Anonymous Thera Paramehta said...

hohoho, thx man...

Monday, April 30, 2007  
Anonymous glasgowmegasnake glasgow mega snake said...

tajem... tapi bener..!!!

lagi dunk

*haus bacaan

Monday, April 30, 2007  
Anonymous Thera Paramehta said...

berikutnya skripsi gue akan gue post disni... huhuhu bagaimana? tertarik membacanya? >:-D

Tuesday, May 01, 2007  
Anonymous Tria Nin said...

mahu mahu
tertarik :)

Wednesday, March 12, 2008  
Anonymous Firliana Purwanti said...

Ya, saya setuju, "bahasa komunikasi" feminisme harus di reform agar lebih strategis utk mencapai tujuan. Tapi yaa itu, kadang kalau terlalu mengesalkan tingkah para male chauvinist pig, yang ada gue jadi gak tahan dan emosi juga akhirnya. Ha..ha..ha.. susah nih jaga emosi, ada tips?

Thursday, April 03, 2008  
Anonymous Thera Paramehta said...

percuma emosi cuma buang2 tenaga. once a pig will always a pig, terutama pasukan kelas berat yg sudah terdoktrinasi apa yg mereka anggep suci dan menutup kuping, mata, telinga, idung bwt sedikit pemikiran kritis.
dr pd buang2 tenaga emosi dan ngamuk2 ama mereka. mending kita ketawain aja. atau, lebih bermoralnya lagi... kita kasihanin... kasian mereka jadi korban konstruksi sosial yang udah pasti gak bisa disembuhin. bwahahaa...

Thursday, April 03, 2008  
Anonymous Sang Provokator said...

Menarik... :)

Thursday, July 31, 2008  
Anonymous andreij eijkov said...

percaya gak percaya ... pernah ada suatu tatanan konstruksi dunia yang netral ... itu ada pada jaman purba dan berhenti pada masa bercocok tanam, karena timbulnya fasisme era awal
nice writing anyway ... gue jadi pengen ngobrol dan diskusi lebih banyak lagi ... hehehe
btw ... foto foto vietnamnya keren keren ... :)

Sunday, May 29, 2011  

Post a Comment

<< Home