Thursday, January 01, 2009

Guci Dari Ibu

Meniti aku pada guci itu. Guci yang pernah diberikan ibu. Bentuknya bulat dan kecil. Warna dan rasanya bisa berubah-ubah. Kadang dingin dan biru, kadang panas dan merah. Bahkan, sering dia putih dan membeku. Sayang dia hanya punya satu bau. Bau lendir vagina dari dalam rongganya. Ini nak, harap kau terima, katanya waktu itu. Hitunglah jumlah goresan dan retakan, dan jaga agar ia tidak pernah pecah.

Maka kujaga guci itu dengan baik. Kuhitung setiap gores yang selalu bertambah. Satu demi satu. Entah itu karena kukuku yang terlalu runcing atau memang lapisan cat yang kian melapuk.

Namun goresan dan retakkan itu terus bertambah. Bertambah dan bertambah hingga aku lupa berapa jumlahnya. Kalau ibu tahu, dia masti marah. Siapa yang sangka, ternyata aku cinta guratan-guratan pada guci ku. Retak dan gores tidak menoda atau merusak. Retak dan gores membuatnya tampak seperti lukisan. Aku bisa menebak-nebak bentuk yang dibuatnya seperti aku menebak-nebak pada kumulus yang mendayung di langit. Apakah itu kelinci atau kuda nil atau Jack O' Lantern yang sedang bercakap-cakap dengan Mr.Death. 
Terkadang, melalui retakan dan goresan itu, aku lihat wajah orang-orang yang namanya aku sudah lupa.

Aku bisa membayangkan, pada suatu hari ibu akan menjerit nyaring dengan suaranya yang melengking, Nak, kau apakan guci itu!? Kenapa tampak menjijikan seperti itu!? Dan aku berencana untuk menjawab, Ibu, lihat dengan baik. Cantik sekali bukan? Ada ratusan, bahkan ribuan gambar dan lukisan yang terbentuk di situ! Gunakan imajinasimu, dan kau bisa melihat apa saja!

Aku biarkan guci itu terus meretak dan menggores dengan sendirinya. Mungkin memang itu yang diinginkan si guci. Si guci ingin tubuhnya dipenuhi lukisan dan guratan, agar tampak dia seperti sesuatu yang hidup dalan tangis dan tawa.

Entah apa reaksi ibu nanti. Biar saja. Tokh guci itu tidak sepenuhnya polos dan mengkilap saat diberikan ibu. Dia memang sudah retak dan penuh goresan sejak kali pertama aku melihatnya.

Suatu hari, meniti aku pada guci itu, dan kutemukan sebuah retakan yang tampak begitu dalam. Membentuk jurang kecil pada sebuah sudut di muara lubang. Kusentuh, ingin kuobati. Siapa tahu aku bisa menutup jurang itu.

Tapi sang guci membelah diri. Menjatuhkan sekeping beling dari tubuhnya. Kini dia tidak hanya retak dan bergores. Dia juga cacat.

Apa kata ibu nanti?

Biar saja. Tokh kini guci itu menurutku tampak lebih menarik. Bentuknya yang asimetris membuatnya tampak unik.
Bau nya pun berubah.
Tak lagi bau vagina, sekarang dia harum vagina.

Bekasi, Tahun Baru 2009
(*Mungkin tahun ini gue harus lebih banyak nulis...)

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home