...Give Peace a Chance...
Lelah mata gw nonton CNN, BBC, dan Aljazeera. Beritanya semua sama meskipun dari sudut pandang yang beda-beda. Dari kotak kaca itu gue lihat anak kecil berdarah-darah, laki-laki berkaki buntung, dan bapak-ibu menciumi anaknya yang (kelihatannya) baru saja meninggal. Gue merasa seperti diteror oleh kenyataan pahit yang lagi melanda dunia ini. Gue jadi ingat dengan tour guide gue waktu gue napak tilas ke Yerusalem. Namanya Isa, orang Palestina beragama Katolik yang bercita-cita menjadi pastor, tinggal di Bethlehem (Yup, walopun majoritas muslim, tapi di Palestina juga ada orang Kristen dan Katolik) Dia pernah bilang sama gue bahwa dia sangat mencintai pekerjaannya dan dia bersedia meng-guide turis-turis dari mana saja tidak peduli apapun ras dan agamanya, bahkan turis Yahudi sekalipun (hanya saja, kata dia, turis-turis Yahudi nggak ada yang berani di-guide sama orang Palestina, hehehe). Setiap gue lihat berita di TV, gue ingat dia. Pengen bilang: Long time no see... How are you now? Where are you? I really hope you're not in gaza at the moment. Is everthing allright there? (Yea I know this is a very stupid question...) Do you have any relatives in Gaza? I really hope everything is okay, and hope all your friends and relatives in Gaza -if there's any- are save and sound. I pray for you guys everyday... (yep, gue ngilangin email dia, jadi gue gak tau gmn cara ngehubungin dia, huhuhuuu... :-p)
Dari kemaren gw selalu menghindari menulis tentang krisis Timur Tengah yang lagi nge-trend ini. Tapi tiba pada saat ini, jam setengah tiga pagi, gue merasa butuh mengeluarkan sesuatu yang ngeganjel dari dalem diri gue.
Awalnya gue udah tidur dari jam 11 malem tadi. Tapi gue tiba-tiba kebangun dari sebuah mimpi aneh...(Cerita soal mimpi nya kapan2 aja ya...) Gue ke kamar nyokap gue dengan maksud mencuri susu di kulkasnya. Ternyata nyokap belum tidur. Dia lagi nonton TV. Dia cuma bilang "Jangan nonton, De'... Serem..." Gue udah tau dengan pasti berita di TV itu tentang apa.
Seperti yang gue bilang tadi. Gue seperti di-terror sama berita. Karena tetep penasaran, gue nonton TV. Setelah gue merasa cukup melihat berita (Yang sebenernya intinya itu itu aja) gue masuk kamar dan nangis. Sedih. Bingung. Pengen melakukan sesuatu tapi nggak tau mau ngapain. Empati berlebihan itu baik sekaligus berbahaya...
Nyokap gue cuma bilang, permasalahannya terlalu kompleks... tergantung kita mau lihat dari sudut pandang apa. Itulah perang. Dia menganalogikan perang di jalur Gaza seperti perang antara gajah dan semut. Ada seekor gajah besar yang sedih karena nggak punya rumah. Atas bantuan beberapa teman-temannya, akhirnya gajah itu dapet rumah di bawah pohon kelapa. Sebenernya, pohon kelapa itu rumah sebuah koloni semut. Semut-semut tersebut merasa terganggu sejak keberadaan sang Gajah, mungkin karena tahi gajah yang bau tengik dan mengundang lalat serta ruang gerak mereka yang menjadi semakin sempit. Sang gajah menjadi duri dalam daging mereka. Gajah pun nggak terlalu peduli dengan keadaan para semut. "Ah, cuma semut... apalah arti nyawa mereka," pikir sang gajah. Maka, koloni semut ini pun melakukan segala cara untuk mengusir sang gajah. Mereka menggerogoti kaki gajah. Awalnya gajah tidak merasa terganggu, tapi lama-lama panas dari semut api membakar daging di balik kulit gajah yang tebal. Gajah tahu benar, semut tidak suka dengan keberadaan sang gajah di sekitar sana, tapi gajah tidak punya tempat tinggal lain dan sudah lelah mengembara, dan dia hanya ingin memiliki sebuah rumah. Dirinya memang tak lagi diterima di penjuru tanah mana pun karena tahinya yang besar-besar dan bau tengik. Gajah berpikir, sudah saatnya dia bertindak karena tidak ingin tubuhnya habis dimakan semut hidup-hidup. Satu-satunya hal yang gajah tahu perihal cara mengusir semut adalah dengan menginjaknya. Maka gajah pun berdansa sampai bumi bergoyang dan mampuslah semut-semut itu, termasuk semut-semut tak berdosa yang (mungkin) tidak terlalu terganggu atau tidak pernah merasa peduli dengan keberadaan si gajah, semut-semut yang hanya punya satu pikiran: mencari makanan untuk anak-anaknya. Si gajah tidak merasa bersalah karena merasa punya alasan yang cukup kuat untuk membinasakan semut; begitupun sebaliknya, semut merasa mengusir gajah merupakan sebuah tugas mulia demi mempertahankan koloni.
Terdengar sangat naif kan? Itu karena pada saat ini gue lebih memilih untuk menjadi naif dari pada sok tahu dan berkoar-koar tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Lagi pula, dimanakah kapasitas gue untuk menghakimi siapa yang bersalah? Gue hanya manusia. Dan dengan keterbatasan gue sebagai seorang manusia ini, gue sangat potensial untuk melakukan hal-hal yang salah, termasuk berkata-kata salah, dan berpikir salah. Sebenarnya bisa aja gue merasa yakin benar dan menunjuk Israel sebagai pihak yang biadab (Seperti yang gue lakukan beberapa hari lalu) dan membanjirinya dengan kutukan-kutukan, menginjak-injak bendera berbintang david, melempar sepatu ke langit lepas. Guess what... gue memilih untuk tidak melakukan hal-hal itu. Tapi apakah dengan tidak melakukan hal tersebut berarti gue tidak empati dengan apa yang dialami ratusan korban tak berdosa di Palestina? Apakah dengan tidak melakukan hal itu berarti gue membenarkan (maupun menyalahkan) perbuatan salah satu pihak? Apakah gue apatis? Nggak seperti itu juga...
Entah kenapa gue tiba pada pemikiran bahwa cara untuk menunjukkan empati kita pada korban perang di Timur Tengah dan dunia (Bukan hanya Palestina) tidak selalu dengan mengutuk atau membenci pihak yang kita anggap biang kerok. Entah kenapa pada saat ini gue merasa tidak memihak pada Palestina tapi juga tidak memihak pada Israel. Ketika elo berempati pada korban-korban perang yang tidak berdosa, tentu elo ingin perang tersebut segera berakhir agar tidak ada lagi korban. Sedangkan dendam, benci, dengki, dan kutukan -dalam pemikiran gue yang super naif ini- hanya akan menjadi suntikan bensin bagi kompor peperangan di mana pun dan tidak akan mengentikan apa-apa. Itulah kenapa di dunia ini konflik dan perang nggak akan pernah ada abisnya... karena kecenderungan manusia adalah bersekongkol, menghakimi, memihak, mendendam dan mendengki. Memihak dan mengumpulkan kebencian akan melahirkan peeprangan yang baru, sementara (lagi-lagi atas dasar pemikiran gue yang naif ini) yang sebenarnya harus diperangi adalah rasa dengki dan benci yang ada dikepala kita, manusia.
Gue pikir, gue nggak punya kapasitas apapun untuk memihak. Mata gue bukan mata Tuhan yang bisa melihat segalanya dan menghakimi dengan adil. Mata gue hanya mata manusia yang terbatas. Tapi, mata gue tetep bisa meneteskan air mata dan menangis, karena gue manusia, dan manusia berempati. Gue nggak berpihak pada kubu manapun, gue hanya akan memihak pada John Lennon untuk saat ini... :-D
Hehehe... I personally believes that it's time to bring back the flower power from the 60s, People...
Just give peace a chance, because eye for an eye just makes the world goes blind. That is my stand for now.
Dari kemaren gw selalu menghindari menulis tentang krisis Timur Tengah yang lagi nge-trend ini. Tapi tiba pada saat ini, jam setengah tiga pagi, gue merasa butuh mengeluarkan sesuatu yang ngeganjel dari dalem diri gue.
Awalnya gue udah tidur dari jam 11 malem tadi. Tapi gue tiba-tiba kebangun dari sebuah mimpi aneh...(Cerita soal mimpi nya kapan2 aja ya...) Gue ke kamar nyokap gue dengan maksud mencuri susu di kulkasnya. Ternyata nyokap belum tidur. Dia lagi nonton TV. Dia cuma bilang "Jangan nonton, De'... Serem..." Gue udah tau dengan pasti berita di TV itu tentang apa.
Seperti yang gue bilang tadi. Gue seperti di-terror sama berita. Karena tetep penasaran, gue nonton TV. Setelah gue merasa cukup melihat berita (Yang sebenernya intinya itu itu aja) gue masuk kamar dan nangis. Sedih. Bingung. Pengen melakukan sesuatu tapi nggak tau mau ngapain. Empati berlebihan itu baik sekaligus berbahaya...
Nyokap gue cuma bilang, permasalahannya terlalu kompleks... tergantung kita mau lihat dari sudut pandang apa. Itulah perang. Dia menganalogikan perang di jalur Gaza seperti perang antara gajah dan semut. Ada seekor gajah besar yang sedih karena nggak punya rumah. Atas bantuan beberapa teman-temannya, akhirnya gajah itu dapet rumah di bawah pohon kelapa. Sebenernya, pohon kelapa itu rumah sebuah koloni semut. Semut-semut tersebut merasa terganggu sejak keberadaan sang Gajah, mungkin karena tahi gajah yang bau tengik dan mengundang lalat serta ruang gerak mereka yang menjadi semakin sempit. Sang gajah menjadi duri dalam daging mereka. Gajah pun nggak terlalu peduli dengan keadaan para semut. "Ah, cuma semut... apalah arti nyawa mereka," pikir sang gajah. Maka, koloni semut ini pun melakukan segala cara untuk mengusir sang gajah. Mereka menggerogoti kaki gajah. Awalnya gajah tidak merasa terganggu, tapi lama-lama panas dari semut api membakar daging di balik kulit gajah yang tebal. Gajah tahu benar, semut tidak suka dengan keberadaan sang gajah di sekitar sana, tapi gajah tidak punya tempat tinggal lain dan sudah lelah mengembara, dan dia hanya ingin memiliki sebuah rumah. Dirinya memang tak lagi diterima di penjuru tanah mana pun karena tahinya yang besar-besar dan bau tengik. Gajah berpikir, sudah saatnya dia bertindak karena tidak ingin tubuhnya habis dimakan semut hidup-hidup. Satu-satunya hal yang gajah tahu perihal cara mengusir semut adalah dengan menginjaknya. Maka gajah pun berdansa sampai bumi bergoyang dan mampuslah semut-semut itu, termasuk semut-semut tak berdosa yang (mungkin) tidak terlalu terganggu atau tidak pernah merasa peduli dengan keberadaan si gajah, semut-semut yang hanya punya satu pikiran: mencari makanan untuk anak-anaknya. Si gajah tidak merasa bersalah karena merasa punya alasan yang cukup kuat untuk membinasakan semut; begitupun sebaliknya, semut merasa mengusir gajah merupakan sebuah tugas mulia demi mempertahankan koloni.
Terdengar sangat naif kan? Itu karena pada saat ini gue lebih memilih untuk menjadi naif dari pada sok tahu dan berkoar-koar tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Lagi pula, dimanakah kapasitas gue untuk menghakimi siapa yang bersalah? Gue hanya manusia. Dan dengan keterbatasan gue sebagai seorang manusia ini, gue sangat potensial untuk melakukan hal-hal yang salah, termasuk berkata-kata salah, dan berpikir salah. Sebenarnya bisa aja gue merasa yakin benar dan menunjuk Israel sebagai pihak yang biadab (Seperti yang gue lakukan beberapa hari lalu) dan membanjirinya dengan kutukan-kutukan, menginjak-injak bendera berbintang david, melempar sepatu ke langit lepas. Guess what... gue memilih untuk tidak melakukan hal-hal itu. Tapi apakah dengan tidak melakukan hal tersebut berarti gue tidak empati dengan apa yang dialami ratusan korban tak berdosa di Palestina? Apakah dengan tidak melakukan hal itu berarti gue membenarkan (maupun menyalahkan) perbuatan salah satu pihak? Apakah gue apatis? Nggak seperti itu juga...
Entah kenapa gue tiba pada pemikiran bahwa cara untuk menunjukkan empati kita pada korban perang di Timur Tengah dan dunia (Bukan hanya Palestina) tidak selalu dengan mengutuk atau membenci pihak yang kita anggap biang kerok. Entah kenapa pada saat ini gue merasa tidak memihak pada Palestina tapi juga tidak memihak pada Israel. Ketika elo berempati pada korban-korban perang yang tidak berdosa, tentu elo ingin perang tersebut segera berakhir agar tidak ada lagi korban. Sedangkan dendam, benci, dengki, dan kutukan -dalam pemikiran gue yang super naif ini- hanya akan menjadi suntikan bensin bagi kompor peperangan di mana pun dan tidak akan mengentikan apa-apa. Itulah kenapa di dunia ini konflik dan perang nggak akan pernah ada abisnya... karena kecenderungan manusia adalah bersekongkol, menghakimi, memihak, mendendam dan mendengki. Memihak dan mengumpulkan kebencian akan melahirkan peeprangan yang baru, sementara (lagi-lagi atas dasar pemikiran gue yang naif ini) yang sebenarnya harus diperangi adalah rasa dengki dan benci yang ada dikepala kita, manusia.
Gue pikir, gue nggak punya kapasitas apapun untuk memihak. Mata gue bukan mata Tuhan yang bisa melihat segalanya dan menghakimi dengan adil. Mata gue hanya mata manusia yang terbatas. Tapi, mata gue tetep bisa meneteskan air mata dan menangis, karena gue manusia, dan manusia berempati. Gue nggak berpihak pada kubu manapun, gue hanya akan memihak pada John Lennon untuk saat ini... :-D
Hehehe... I personally believes that it's time to bring back the flower power from the 60s, People...
Just give peace a chance, because eye for an eye just makes the world goes blind. That is my stand for now.
Ev'rybody's talking about
Bagism, Madism, Dragism, Shagism, Ragism, Tagism
This-ism, that-ism
ism ism ism
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance
its goin' great
Everybody's talkin' bout'ministers,
sinisters, banisters and canisters,
bishops and fishops and rabbis and pop eyes,
and byebye, byebyes
all we are saying is give peace a chance,
all we are saying is give peace a chance,
let me tell you now
Ev'rybody's talking about
Revolution, evolution, masturbation,
flagellation, regulation, integrations,
meditations, United Nations,
Congratulations.
All we are saying [keep talking] is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance
Oh Let’s stick to it
Ev'rybody's talking about
John and Yoko, Timmy Leary, Rosemary, Tommy smothers, Bobby Dylan,
Tommy Cooper, Derek Tayor, Norman Mailer, Allen Ginsberg, Hare Krishna,
Hare Hare Krishna
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance
(Give Peace a Chance - John Lennon)
(Left to Right: Me, my mom, Isa the tour guide, and other members of the tour. Mudah-mudahan gue bisa tidur nyenyak sekarang... sambil memimpikan bermain jungkat jungkit dengan "Isa the Palestinian tour guide" di taman penuh bunga)
...May peace be in Middle East...
Bagism, Madism, Dragism, Shagism, Ragism, Tagism
This-ism, that-ism
ism ism ism
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance
its goin' great
Everybody's talkin' bout'ministers,
sinisters, banisters and canisters,
bishops and fishops and rabbis and pop eyes,
and byebye, byebyes
all we are saying is give peace a chance,
all we are saying is give peace a chance,
let me tell you now
Ev'rybody's talking about
Revolution, evolution, masturbation,
flagellation, regulation, integrations,
meditations, United Nations,
Congratulations.
All we are saying [keep talking] is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance
Oh Let’s stick to it
Ev'rybody's talking about
John and Yoko, Timmy Leary, Rosemary, Tommy smothers, Bobby Dylan,
Tommy Cooper, Derek Tayor, Norman Mailer, Allen Ginsberg, Hare Krishna,
Hare Hare Krishna
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance
(Give Peace a Chance - John Lennon)
(Left to Right: Me, my mom, Isa the tour guide, and other members of the tour. Mudah-mudahan gue bisa tidur nyenyak sekarang... sambil memimpikan bermain jungkat jungkit dengan "Isa the Palestinian tour guide" di taman penuh bunga)
...May peace be in Middle East...
Labels: blog
14 Comments:
engga...kamu ngga terdengar naif
Yang terdengar naif ya David, Ibal, Pepeng, dan Jarwo :D
iya.. ada koloni semut di situ, tapi pohon kelapa itu juga bukan milik mereka...
(tanahnya kebetulan milik juragan kelapa, gajah dan semut cuma numpang...)
gw stuju banget nih ther.......
ga ada alasan apapun yang membenarkan manusia mencabut nyawa manusia lain.........II_II
bahkan ada yang beralasan perang ada untuk menciptakan kedamaian....?????
please...."NO MORE WAR"......
saya sampe cape denger beritanya
kayaknya gak abis2
susah emang kl manusia udh punya ambisi untuk 'menghilangkan' manusia lain
susah ilangnya
analogi yang menarik ter...
GIVE PEACE A CHANCE!!!
WAR IS OVER
if you want it
Happy Christmas From John and Yoko
---but who wants the war to end?
Only the dead who have see the end of war
Thomas Hobbes
naif.. nama band plg keren di tanah air :-D
juragan kelapa nya juga ngontrak di tanahnya orang betawi kok... (kenapa hrs org betawi yha??)
Then let me be dead, Tommy! :-p
btw,nos. peace is such a utopian dream. and something utopian is just too good to be true, so it's most likely won't happen... i do admit that. however, it's worth fighting for just to keep you stay alive. people who believe in war, on the other hand, are already dead to me...
the real war still exists though... war against war - now I don't want this kind of war to end :-D
lama-lama ilang semuanya dengan sendirinya... hehehe
war against war will only create a bigger war. Its like fighting fire with fire.
my old budhist psychological Theater lecturer, Lee James, told me once..."it is the feminine quality that can make peace, when a person is sacrificing his/herself for the sake of others, and not fighting the oppressor no matter how wrong he/she is. Its like the love of a mother to her child, the passivity of every well-known prophet. if a person slap your left cheek, give him your right one."
Now, how many of us can land our ego like that? I'll be one of them as best as i could. So should each and everyone of us. but we still have to speak.
Peace, and not silence.
"For silence speak a lot more than words in the heart of the rebel." --Albert Camus.
i like your writing.
gue suka tulisan lo, seperti mewakilkan apa yang sama gue rasakan. capek liat berita dan makian orang-orang dimana-mana. Yaudah lah, berdoa aja buat kedua belah pihak :(
justru this is what i mean by war against war, nos. war against (the sense of) war in your mind. since it is not easy to do this jesus' philosophy... so the real war is you vs your ego. semua org parti pernah ketemu pertentangan seperti ini.. when you can kill your sense of war, then the peace in your mind wins. and when someone slaps you on your right face, you'll surrender to peace and give your left. dan dengan begini yg terluka hanya kita, bukan orang-orang yg gak ada hubungannya dengan konflik kita. justru not fire with fire - i never mention this at all in my writing, and this is exactly the thing I'm strongly against with. if u read my posting... i clearly stated: "yang sebenarnya harus diperangi adalah rasa dengki dan benci yang ada dikepala kita, manusia."
thx ;-)
Post a Comment
<< Home