Menyerah?
Lunglai. Menyerah pada arus. Tinggal sesaat lagi nyawa menjelma menjadi tiada. Tinggal sesaat lagi dia menjadi robot yang bergerak bersama roda-roda yang saling mengait. Suatu saat dia tidak lebih dari bait yang terpasang pada mesin raksasa, pabrik penghasil tai, sampah, muntah, nanah, dan segala-galanya yang sudah busuk.
Menyerah? Otaknya tidak lagi bergerak liar dan bebas seperti saat ketika ledakan-ledakan ide memborbardir sela-sela otak kanan dan kirinya yang belum terlalu keriput. Seolah tersemen pada lantai kering, tak satupun tumbuhan tumbuh, bahkan berbunga. Hanya pasir dan debu, tidak ada sedikitpun ledakan. Orgasme pemikiran. Sudah lama dia menjadi frigit, terpatok pada arus.
Menyerah. Kalah?
Kalaupun kalah? Kepada siapa dia kalah?
Pun dia tidak mengenal siapa musuhnya.
Kalau tidak ada musuh, tidak ada perang. Tidak ada perang, lalu untuk apa menyerah?
Menyerah? Otaknya tidak lagi bergerak liar dan bebas seperti saat ketika ledakan-ledakan ide memborbardir sela-sela otak kanan dan kirinya yang belum terlalu keriput. Seolah tersemen pada lantai kering, tak satupun tumbuhan tumbuh, bahkan berbunga. Hanya pasir dan debu, tidak ada sedikitpun ledakan. Orgasme pemikiran. Sudah lama dia menjadi frigit, terpatok pada arus.
Menyerah. Kalah?
Kalaupun kalah? Kepada siapa dia kalah?
Pun dia tidak mengenal siapa musuhnya.
Kalau tidak ada musuh, tidak ada perang. Tidak ada perang, lalu untuk apa menyerah?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home