Fenomena Kangen Band: Subjektifitas Atas Simpati
Iya iya iya, saya tahu. Saya datang dari keluarga yang tidak berkekurangan. Saya masih bisa naik mobil honda jazz yang dibelikan papa saya, sementara di luar sana para pengendara sepeda motor memotong jalan seenaknya. Tidak jarang diantara motor-motor membabi buta itu ada yg membonceng istri dan dua anaknya yg masih bayi... ck ck ck... keselamatan jadi nomer dua, saya tau mereka melakukannya karena tidak seberuntung saya. Lalu teringat, ketika salah satu mobil teman saya tabrakan dengan motor saat lampu merah (yang jelas-jelas salah motornya), sang pengendara motor berkata dengan nyolotnya:"Sudahlah mas! Saya ini kan orang kecil! Mas yang harus ganti motor saya yang rusak!"
Kalau mau bicara soal hukum di jalanan, seharusnya masalah keadaan sosial tidak boleh disertakan. Mau kaya atau miskin, pejabat atau tukang sayur, pelacur atau ulama, seharusnya sederajat di mata hukum. Salah ya salah... Tapi ternyata hukum yang berlaku bukalah seperti hukum yang kita tahu, hukum di jalanan adalah hukum rimba, hukum yang berdiri atas kesepakatan tak tertulis dimana kekuatan absurd tak terdefinisi dapat menguasai dunia. Bagi saya di negara jalanan kali-malang bekasi, penguasa rimba adalah motor yang jumlahnya seperti laron.
Subjyektifitas memang bisa datang atas simpati, dan subjektifitas ini memang sah-sah saja bagi saya. Wajar dan masuk akal. Tapi apa akibatnya ketika penilaian subjektifitas berdiri seutuhnya atas rasa simpati di sebuah rimba bernama industri musik, dimana sang raja hutan adalah perusahaan label rekaman yang besar? Rasa simpati dijungkirbalikkan sebagai alat pembakar trigger fenomena Kangen Band, dimana nilai jual bukan lagi murni pada musik, tetapi cerita sedih yang ada di balik para personil yang kemudian dapat mengundang kontroversi dan berhasil membuat mata banyak orang terbelak dan telinga berdenging atas fenomena ajaib ini.
Pertama kali mendengar nama Kangen Band saja saya sudah sangat kaget. Nama yang sangat aneh untuk sebuah band (walaupun nama band saya juga aneh), dan juga nama yg cheezy. Perlu diketahui bahwa subjektifitas saya terhadap Kangen Band sampai saat ini masih sebatas nama band tersebut, karena sampai saat ini saya belum mendengar musiknya. Essai ini ditulis atas ketertarikan saya menelaah apa yang terjadi di balik fenomena ini, bukan atas kebencian saya terhadap musik yang mereka tampilkan.
Pertama-tama saya membaca sebuah blog di http://zhadvance.wordpress.com/2007/05/06/kangen-band/#comment-781 yang menyatakan kebencian pada Kangen Band, dan lebih dari 600 comment yang ada berbicara seputar Kangen Band VS Naif yang berdasarkan atas komentar David naif yang mencela kangen Band.
Kalau mau bicara soal hukum di jalanan, seharusnya masalah keadaan sosial tidak boleh disertakan. Mau kaya atau miskin, pejabat atau tukang sayur, pelacur atau ulama, seharusnya sederajat di mata hukum. Salah ya salah... Tapi ternyata hukum yang berlaku bukalah seperti hukum yang kita tahu, hukum di jalanan adalah hukum rimba, hukum yang berdiri atas kesepakatan tak tertulis dimana kekuatan absurd tak terdefinisi dapat menguasai dunia. Bagi saya di negara jalanan kali-malang bekasi, penguasa rimba adalah motor yang jumlahnya seperti laron.
Subjyektifitas memang bisa datang atas simpati, dan subjektifitas ini memang sah-sah saja bagi saya. Wajar dan masuk akal. Tapi apa akibatnya ketika penilaian subjektifitas berdiri seutuhnya atas rasa simpati di sebuah rimba bernama industri musik, dimana sang raja hutan adalah perusahaan label rekaman yang besar? Rasa simpati dijungkirbalikkan sebagai alat pembakar trigger fenomena Kangen Band, dimana nilai jual bukan lagi murni pada musik, tetapi cerita sedih yang ada di balik para personil yang kemudian dapat mengundang kontroversi dan berhasil membuat mata banyak orang terbelak dan telinga berdenging atas fenomena ajaib ini.
Pertama kali mendengar nama Kangen Band saja saya sudah sangat kaget. Nama yang sangat aneh untuk sebuah band (walaupun nama band saya juga aneh), dan juga nama yg cheezy. Perlu diketahui bahwa subjektifitas saya terhadap Kangen Band sampai saat ini masih sebatas nama band tersebut, karena sampai saat ini saya belum mendengar musiknya. Essai ini ditulis atas ketertarikan saya menelaah apa yang terjadi di balik fenomena ini, bukan atas kebencian saya terhadap musik yang mereka tampilkan.
Pertama-tama saya membaca sebuah blog di http://zhadvance.wordpress.com/2007/05/06/kangen-band/#comment-781 yang menyatakan kebencian pada Kangen Band, dan lebih dari 600 comment yang ada berbicara seputar Kangen Band VS Naif yang berdasarkan atas komentar David naif yang mencela kangen Band.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home