The truth won't save you now...
Gue bahkan gak mao ngeliat matanya. Nggak. Gue itu lemah sama hal itu. Waktu gue akhirnya menegaskan semua ini, gue emang udah muak. Dan gue udah cape jadi pihak yang selalu harus nurut, jadi pihak yang selalu dikodratkan untuk punya peranan-peranan yang nggak bisa dihindari. Gue muak ketika dia menunjukkan cara berpikirnya yg "in order", inside the box. Sampai kemarin, sampai semuanya jadi nyata. Hati gue udah terlalu terluka untuk menerima satu lagi tekanan dari dia. Satu lagi intimidasi. Satu lagi ketidakpengakuannya. Udah cukup gue menjadi makhluk yang visible di hatinya tp invisible dlm universenya. I had enough of this kind of underestimation, and I had enough of your possesiveness.
Sampe akhirnya kata2 yang nggak boleh keluar jadi keluar. Kata2 yang nggak perlu diungkit jadi diungkit. Pernyataan2 yg menyakitkan. Gue menyakitkan dia seperti dia menyakitkan gue selama ini, pake kata2. Kata2 bisa lebih tajem dari busur panah, dan memang itu bisa membunuh bila tertancap terlalu dalam di hati.
Gue udah memberi kesempatan untuk dia, untuk diri gue sendiri, untuk semua kemungkinan2 yang nggak berujung. Gue memberi kesempatan pada kehidupan yang menurut gue bisa jadi nyata, bisa jadi khayalan doang, tapi nggak mungkin jadi sia-sia. Satu kesempatan. Satu penghargaan pada kemungkinan yang tidak terbatas.
Tapi terkadang kenyataan itu memang bisa dikonstruksi. Seperti kenyataan yang secara otomatis udah mengakar di kepalanya seperti pohon beringin ratusan tahun. Kenyataan itu bentukan angin dan debu yang tumbuh dan berkembang bersama dia. Beda dengan gue, buat gue kenyataan itu masih terombang ambing di atas sekoci, di tengah laut yang luaaaaaas, di suatu area yang nggak berujung. Kenyataan nggak perlu ditangkap dan dipastikan.
Wanna know about the truth? kenyataannya... bohong kalo gue bilang gue nggak ngerasa kehilangan. Gue sangat merasa kehilangan. Bohong kalo gue bilang gue nggak sayang. Gue sangat sayang. Bohong kalo gue bilang gue nggak kangen. Gue sangat kangen. Bohong kalo gue bilang gue nggak kepikiran. Gue selalu memikirkan. Gue khawatir. Gue prihatin. Gue berharap yang terbaik, bukan untuk gue, tapi untuk dia.
This is the truth, but the truth won't save me now... what I need is reality...
Gue nggak mao liat matanya lagi, karena gue udah bilang "gue nggak mao liat lo lagi!" and this time is for real... for good.
Sampe akhirnya kata2 yang nggak boleh keluar jadi keluar. Kata2 yang nggak perlu diungkit jadi diungkit. Pernyataan2 yg menyakitkan. Gue menyakitkan dia seperti dia menyakitkan gue selama ini, pake kata2. Kata2 bisa lebih tajem dari busur panah, dan memang itu bisa membunuh bila tertancap terlalu dalam di hati.
Gue udah memberi kesempatan untuk dia, untuk diri gue sendiri, untuk semua kemungkinan2 yang nggak berujung. Gue memberi kesempatan pada kehidupan yang menurut gue bisa jadi nyata, bisa jadi khayalan doang, tapi nggak mungkin jadi sia-sia. Satu kesempatan. Satu penghargaan pada kemungkinan yang tidak terbatas.
Tapi terkadang kenyataan itu memang bisa dikonstruksi. Seperti kenyataan yang secara otomatis udah mengakar di kepalanya seperti pohon beringin ratusan tahun. Kenyataan itu bentukan angin dan debu yang tumbuh dan berkembang bersama dia. Beda dengan gue, buat gue kenyataan itu masih terombang ambing di atas sekoci, di tengah laut yang luaaaaaas, di suatu area yang nggak berujung. Kenyataan nggak perlu ditangkap dan dipastikan.
Wanna know about the truth? kenyataannya... bohong kalo gue bilang gue nggak ngerasa kehilangan. Gue sangat merasa kehilangan. Bohong kalo gue bilang gue nggak sayang. Gue sangat sayang. Bohong kalo gue bilang gue nggak kangen. Gue sangat kangen. Bohong kalo gue bilang gue nggak kepikiran. Gue selalu memikirkan. Gue khawatir. Gue prihatin. Gue berharap yang terbaik, bukan untuk gue, tapi untuk dia.
This is the truth, but the truth won't save me now... what I need is reality...
Gue nggak mao liat matanya lagi, karena gue udah bilang "gue nggak mao liat lo lagi!" and this time is for real... for good.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home