Tuesday, January 22, 2008

Perang di Wajah (Interpretasi gue akan kehidupan tokoh Tankface dalam konser ZATPP di Goethe Sabtu kemarin)

Dia memasukki kamar temaramnya. Ada yang ingin ia tulis. Mungkin seperti surat atau cerpen. Ah tidak, dia ingin menuliskan sebuah novel. Novel yang bercerita tentang perjalanan peperangan yang selama ini ia jalani. Sudah lama dia bermain-main bersama debu dan mesiu, dan dari wajahnyalah banyak darah dan daging terbakar hingga aromanya mirip seperti sate setengah matang tanpa bumbu kacang. Aroma darah adalah aroma pertama yang ia kenal, bukan aroma ibunya. Memang, karena ia tidak punya ibu. Tankface lahir dari para tukang-tukang mesiu dan ahli senjata berat, bukan oleh adonan suci sel telur dan sperma di malam pertama sepasang pengantin yang sedang jatuh cinta.

Sedari kecil, hidupnya sudah digarisi oleh takdir yang disusun penciptanya. Tankface harus membunuh, bertugas membunuh, menggilas siapapun yang ingin melawannya. Tubuh bajanya tidak akan dapat terlukai, bahkan oleh peluru tercepat. Hingga remaja, dia tidak boleh mengeluh meski tubuhnya memanas saat menyelam dalam teriknya Sahara, atau beku tertusuk dinginnya Kutub Utara. Dan di matanya sudah terlalu biasa dia menyaksikan anak-anak yang kehilangan ibunya, atau pemuda-pemuda yang termutilasi oleh jahanamnya kuasa yang ingin saling memakan. Tankface tidak kenal lelah, dan tidak boleh lelah.

Sampai tiba saatnya, Tankface merasa sudah dewasa dan sadar akan hak-haknya sebagai... manusia tank. Tankface ingin pensiun. Tinggal di sebuah rumah mungil. Hidup dari menjadi saksi akan kejamnya perang, lalu memanjakan anak dan istrinya. Maka Tankface pun berjuang di pengadilan, untuk meraih kebebasannya. Tak perlu lagi dia bertuan pada siapapun, bahkan penciptanya yang arogan.

Bermodalkan cerita sedih dan belas kasihan yang ia pelajari dari sinetron-sinetron di Asia Tenggara, Tankface memenangkan tuntutannya. Kini di sebuah lembah hijau yang asri, Tankface hidup seorang diri. Diam-diam dia mencintai seorang gadis berambut pirang dikepang, anak pak tani desa sebelah.

Tapi apa daya. Manusia mana yang sudi berkelana dalam cinta bersama manusia berwajah tank. Gadis petani berambut pirang dikepang itu menginginkan pria biasa yang tampan, dan lebih baik berprofesi akuntan.

Tankface pun selesai pada lamunannya. Lupakan gadis pirang itu, katanya dalam hati. Menulislah tentang darah dan debu yang memang selama ini kau saksikan. Pena di tangan kiri, kertas di tangan kanan. Satu dua kata dia tulis. Terkadang, emosi tak tertahan. Namun tulisannya sudah beku, karena dia bersembunyi di balik kebohongan. Kebohongan bahwa Tankface ingin menangis meratapi kesedihannya. Tapi apa daya, Tankface tidak berairmata, hanya mesiu yang ia punya.

Kata-katanya redam dalam kebuntuan. Amarah dan kekesalan mulai menggelapkan matanya. Lalu ia merobek kertas, mematahkan pena, memecahkan piring, membanting meja. Amarah-amarah sampai tiba saatnya ia merintih. Tankface kesakitan, sakit atas rasa yang ia sendiri tidak kenal. Perih... perih.., pikirnya. Perih ini menusuk hati, sakitnya tidak dapat diobati. Tankface sekarat, dia hampir mati.

Sebelum ajal menjemput, perempuan perambut pirang berkepang itu muncul kembali dalam angannya. Terlihat wajah sang perempuan dalam bingkau kayu yang sudah lapuk. Melihatnya, hasrat yang tidak dapat dijelaskan datang. Tankface ingin memeluknya, mendekapnya, merasakannya. Menyentuh setiap jengkal dan pekuk tubuhnya. Mencium aroma parfumnya. Membelai rambutnya.

Tankface tahu itu mustahil. Maka berjalanlah tangannya ke arah selangkangan. Menyentuh dan mengelus mencipta rasa gelora yang sulit diutarakan.
Kamar mandi dan tangan kanan.
Bubuk mesiu larut di selokan.
Cinta yang dasyat memang biasanya sulit dilupakan.

Tankface kembali duduk diterangi lampu. Dengan pena di tangan kanan dan kertas di tangan kiri. Hampir ia dibunuh oleh jenuh. Tertekan oleh bosan. Kesendirian, itulah penyakit yang harus ia telan.

Dan disanalah Tankface, saksi peperangan, debu dan darah. Menulis kesaksiannya dengan jeli dan rinci pada sebuah buku hingga akhir hayatnya.

Dan ribuan tahun berikutnya, buku itu sudah menjadi kitab suci yang berbahaya. Kesaksian atas bagaimana manusia saling menghancur dan membunuh. kesaksian bahwa pernah pada suatu hari tempat kita tinggal adalah tempat terdekat dengan neraka, dimana semua serba merah dan berbau darah.

Lalu seekor babi menjadi pengikutnya, nabi terbaiknya, menciptakan sebuah ritual dimana manusia-manusia rendahan bisa memuja Tankface, Tuhannya, lewat karya-karya ajaib sebuah pertunjukkan keindahan. Sekedar peringatan akan dunia yang pernah hilang, di sebuah panggung temaram penuh kesucian.

Babi berdiri, semua umat berdiri.
Maka ini saatnya berucap "Briliaaaan!!!" sebagai pengganti kata "amin" yang sudah lama ketinggalan zaman.



Thanks untuk Zeke and the Popo yang mengkaryakan sebuah konser musik teaterikal yang begitu indahnya. Maaf gue lebih banyak memperhatikan si Tankface ketimbang kalian semua... hehehe.... You guys rock!

Labels:

12 Comments:

Anonymous Indro Moektiono said...

niice interpretation :)

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Aryo Anindito said...

interpretasi yang menarik............ jujur gw penasaran ama sisa2 tank familynya dikarenakan di posternya terdapat satu lukisan satu keluarga tank

sebaliknya saya malah memerhatikan ZATPP main dan visualisasi di tembok..........

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Iman Fattah said...

terharu...hics =,D

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Gharonk Manusia Jahat said...

canggih, thera emang canggih mendefinisikan tankface

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous mbakyu trisia said...

great writing sist.......gw suka kata2 yg lo tulis menjadi sebuah paragraf yg penuh arti...........peace & peace

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

gue share yah!

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Thera Paramehta said...

boleh, monggo... sebenernya gue mao nulis review, ato blog dr gig kmaren itu. tp kok semuanya nulis seperti itu yah? jadi gw bikin yg beda aja... hehe... Sebuah karya yang dilahirkan dari karya orang lain. damn, how much I love inter-textual adaptation.

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Thera Paramehta said...

thx a lot!

cheers and peace!

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Thera Paramehta said...

karena tank face benar2 sendirian dan kesepian di panggung, semacem autis gitu (padahal ditemenin zeke and the gank), jd gue berkesimpulan bahwa apa yg di poster itu hanya imajinasi si tankface yg ingin settle down tp ga kesampean...

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous grace m y sitorus said...

kisah yg bagus.

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous The duke of Ciel sunshine said...

dan saya berdiri didepan monitor dan teriak..."Brilian!!!!!!!!!!"

Tuesday, January 22, 2008  
Anonymous Revelino ippo said...

khekhekhkehe hebat tulisan neng thera, klo gw malah dokumentasiin mereka, gw pria besar yang mungkin mengambil perhatian pengunjung, karena berbadan besar mondar-mandir depan panggung bawa kamera video, walaupun gambar gelap berantakan hajar bleh ajah.....hehehehhe

gw ngambil vidoc mereka dari awal mereka bikin set, sebenarnya bila tak ada ganggun teknis akan lebih seru lagi tuh....
alurnya banyak yang improf alias gak sesuai skenarionyah..... kita tunggu ajah perf mereka bareng tankface di bandung akankah lebih siap dan heboh lagi dari kemarin atau tidak tunggu saja .......

Tuesday, January 22, 2008  

Post a Comment

<< Home