Merah Kirmizi dan Sisa Goresan-Goresan di Lenganku
Butiran-butiran merah itu menyatu menjadi aliran darah. Hanya satu dua gores saja padahal, tetapi sakitnya bukan main, dan merahnya darah di pergelangan tangan itu terus merampas pandanganku. Hebat sekali perampokan oksigen ini, sehingga perlahan-lahan yang kulihat menjadi tersapu abu-abu dan kabut nyinyir perih ini.
Ini bukan perih di lengan yang pernah dengan sengaja kusilet, ini perih yang datang dari luka yang menganga di hati. Dan setiap wajahnya tiba-tiba meledak di kepalaku, perih ini datang lagi. Lalu kuambil benda apapun yang tajam dan berkarat, lalu mengukir bilah-bilah daging di lenganku dengan warna merah kirmizi yang tajam itu ciptakan.
Dan beginilah caraku mengenyahkan perih dari luka. Luka yang datang dari luka yang mengaga di hatiku. Abstrak rasanya. Kata-kata tidak bisa menjelaskan perihnya, hanya abstrak rasanya saja. Itu sudah.
Sampai saat ini pun, bila kau jeli kau temukan bekas goresan-goresan itu. Sudah nyaris menyatu dengan warna kulit pucatku. Diantaranya tampak entah nadi atau arteri, aku tidak pernah hafal istilah biologi meski ayahku dokter. Goresan-goresan itu yang berhasil membuai malamku dan menenangkanku saat jeritan-jeritan tak lagi tertahankan. Goresan-goresan yang menjadi pabrik butir-butir kirmizi hangat yang kemudian mengalir jatuh ke permukaan. Bercaknya cantik menghias putih seperti kembang api yang meledak atau kelopak bunga yang berceceran menghiasi lantai. Seperti aku yang menyudut di ruangan sepi itu.
Ini luka yang menghentikan air mata.
Ini luka yang mengenyahkan luka.
Yang tersisa saat ini hanyalah mantera-mantera untuk shamanku yang membangun sarangnya pada luka.
Menangis sepi.
Menangisi sepi.
Sepi ditangisi. Sepi dalam tangis.
Tangis pada sepi.
Sepi.
Tangis.
Sepi.
Tangis.
Datanglah kirmizi merah hangatku diantara bekuan luka-lukaku!
Ini bukan perih di lengan yang pernah dengan sengaja kusilet, ini perih yang datang dari luka yang menganga di hati. Dan setiap wajahnya tiba-tiba meledak di kepalaku, perih ini datang lagi. Lalu kuambil benda apapun yang tajam dan berkarat, lalu mengukir bilah-bilah daging di lenganku dengan warna merah kirmizi yang tajam itu ciptakan.
Dan beginilah caraku mengenyahkan perih dari luka. Luka yang datang dari luka yang mengaga di hatiku. Abstrak rasanya. Kata-kata tidak bisa menjelaskan perihnya, hanya abstrak rasanya saja. Itu sudah.
Sampai saat ini pun, bila kau jeli kau temukan bekas goresan-goresan itu. Sudah nyaris menyatu dengan warna kulit pucatku. Diantaranya tampak entah nadi atau arteri, aku tidak pernah hafal istilah biologi meski ayahku dokter. Goresan-goresan itu yang berhasil membuai malamku dan menenangkanku saat jeritan-jeritan tak lagi tertahankan. Goresan-goresan yang menjadi pabrik butir-butir kirmizi hangat yang kemudian mengalir jatuh ke permukaan. Bercaknya cantik menghias putih seperti kembang api yang meledak atau kelopak bunga yang berceceran menghiasi lantai. Seperti aku yang menyudut di ruangan sepi itu.
Ini luka yang menghentikan air mata.
Ini luka yang mengenyahkan luka.
Yang tersisa saat ini hanyalah mantera-mantera untuk shamanku yang membangun sarangnya pada luka.
Menangis sepi.
Menangisi sepi.
Sepi ditangisi. Sepi dalam tangis.
Tangis pada sepi.
Sepi.
Tangis.
Sepi.
Tangis.
Datanglah kirmizi merah hangatku diantara bekuan luka-lukaku!
Labels: averyshotstory
1 Comments:
sepi menampis sepi
sendiri mengintimi sendiri
sepi dengan luka luka kirmizi
menzalimi tangan sendiri
Post a Comment
<< Home