Hati Yang Pernah Utuh
Jemariku menari bersama tiupan angin yang melambai,
menarikku jauh ke semburat warna ungu di tepian tangisku.
Dan pelukan orang satu persatu kembali ke alam tangisan dimana puing-puing pecahan porselin itu pernah berserakah di tanah.
Apa kabar hati yang utuh? Yang sekarang sudah menjadi abu dan pecahan puing-puing guci porselin yang tidak jelas lagi bentuknnya. Ibunda merindukanmu...
Lalu mataku menarik tarikan garis lurus menembus garis horison yang tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit. Dimana lagikah sesungguhnya batas antara langit dan bumi yang jelas? Garis lurus itu kupaku untuk menembus waktu, membawanya ke dimensi di mana kau tak dapat bergerak. Hanya dirimu dan terorku.
Lalu apa lagi yang harus kulukiskan di hati yang pernah utuh? Tiadakah perasaan ingin memberontak, melawan, mencintai, bercinta, merasa, menangis, tertawa, tersakiti, terenyuh, terbang, terbebaskan?
Perasaan apa lagi yang saat ini menjejakkan waktu dan tapaknya di hatiku yang pernah utuh? Masih adakah perasaanku? Masihkan aku seorang manusia?
Aku dan terorku memaku dirimu. Dirimu terpaku oleh aku dan terorku. Bukankah kita semua hidup berdampingan dan bahagia bersama teror yang membabi buta? Bagaimana caranya cahaya gelap itu masuk dari celah hatiku yang pernah utuh?
Aku muak oleh kemarahan. Aku takut terbakar api yang kuciptakan. Namun aku juga tak tahan dengan bekunya es yang mematikan.
Aku tidak pernah ingin sendiri dalam keadaan seperti ini.
Aku ingin membunuh keindahan kalian. Aku ingin memasung kalian diantara batasan langit dan bumi seperti sebuah adegan penebusan dosa yang penuh darah. Aku ingin menciumi kalian satu persatu, dengan luapan kecintaan yang diselimuti oleh benci. Atau dengan kebencian yang dihias oleh kecintaan.
Aku mencintai keindahan kalian, namun aku terlarut oleh busuknya bau yang pernah kalian ciptakan. Di mana lagi harum mawar itu? Mawar merah yang berdarah-darah. Aku terlanjur terluka oleh duri kalian.
Lalu aku membangun auraku satu persatu. Melukiskannya di langit dengan darahku dan darah kalian. Aku tidak ingin mengembalikan sebuah kesucian, yang aku inginkan hanyalah sebuah perasaan. Kembalikan hatiku yang pernah utuh itu.
Aku rindu mencintai kalian dengan tulus. Aku rindu mengecup bibir kalian yang penuh warna dan aroma. Aku rindu merasakan gelitik sayap kupu-kupu yang perlahan-lahan menampar hatiku. Satu-persatu, sesungguhnya aku ingin memeluk kalian dengan penuh kecintaan.
Kekasihku, yang menenggelamkanku ke dasar laut yang penuh darah. Aku mencitai kalian seperti induk burung di tengah sarangnya. Aku bahkan mencintai duri yang selalu kalian ciptakan. Namun kenapa aku tidak lagi memilikki perasaan?
Apa kabar hatiku yang pernah utuh? Ibunda akan merangkai kembali puing-puing yang pernah terbelah. Menjadikan mereka satu, kembali menciptakan dirimu. Sudahlah,lupakan saja semua duri yang pernah melukaimu. Suatu saat nanti mereka akan menghilang dimakan waktu, dan kembali dengan perisai bercahaya untuk melindungi dirimu dari duri-duri yang lebih tajam.
Hatiku yang pernah utuh. Sesungguhnya akulah yang paling mencintai dirimu. Kembalilah ke pelukanku, kembalilah ke rumahmu, di dalam diriku. Mari cepat, sebelum aku mati membeku...
menarikku jauh ke semburat warna ungu di tepian tangisku.
Dan pelukan orang satu persatu kembali ke alam tangisan dimana puing-puing pecahan porselin itu pernah berserakah di tanah.
Apa kabar hati yang utuh? Yang sekarang sudah menjadi abu dan pecahan puing-puing guci porselin yang tidak jelas lagi bentuknnya. Ibunda merindukanmu...
Lalu mataku menarik tarikan garis lurus menembus garis horison yang tertutup oleh gedung-gedung pencakar langit. Dimana lagikah sesungguhnya batas antara langit dan bumi yang jelas? Garis lurus itu kupaku untuk menembus waktu, membawanya ke dimensi di mana kau tak dapat bergerak. Hanya dirimu dan terorku.
Lalu apa lagi yang harus kulukiskan di hati yang pernah utuh? Tiadakah perasaan ingin memberontak, melawan, mencintai, bercinta, merasa, menangis, tertawa, tersakiti, terenyuh, terbang, terbebaskan?
Perasaan apa lagi yang saat ini menjejakkan waktu dan tapaknya di hatiku yang pernah utuh? Masih adakah perasaanku? Masihkan aku seorang manusia?
Aku dan terorku memaku dirimu. Dirimu terpaku oleh aku dan terorku. Bukankah kita semua hidup berdampingan dan bahagia bersama teror yang membabi buta? Bagaimana caranya cahaya gelap itu masuk dari celah hatiku yang pernah utuh?
Aku muak oleh kemarahan. Aku takut terbakar api yang kuciptakan. Namun aku juga tak tahan dengan bekunya es yang mematikan.
Aku tidak pernah ingin sendiri dalam keadaan seperti ini.
Aku ingin membunuh keindahan kalian. Aku ingin memasung kalian diantara batasan langit dan bumi seperti sebuah adegan penebusan dosa yang penuh darah. Aku ingin menciumi kalian satu persatu, dengan luapan kecintaan yang diselimuti oleh benci. Atau dengan kebencian yang dihias oleh kecintaan.
Aku mencintai keindahan kalian, namun aku terlarut oleh busuknya bau yang pernah kalian ciptakan. Di mana lagi harum mawar itu? Mawar merah yang berdarah-darah. Aku terlanjur terluka oleh duri kalian.
Lalu aku membangun auraku satu persatu. Melukiskannya di langit dengan darahku dan darah kalian. Aku tidak ingin mengembalikan sebuah kesucian, yang aku inginkan hanyalah sebuah perasaan. Kembalikan hatiku yang pernah utuh itu.
Aku rindu mencintai kalian dengan tulus. Aku rindu mengecup bibir kalian yang penuh warna dan aroma. Aku rindu merasakan gelitik sayap kupu-kupu yang perlahan-lahan menampar hatiku. Satu-persatu, sesungguhnya aku ingin memeluk kalian dengan penuh kecintaan.
Kekasihku, yang menenggelamkanku ke dasar laut yang penuh darah. Aku mencitai kalian seperti induk burung di tengah sarangnya. Aku bahkan mencintai duri yang selalu kalian ciptakan. Namun kenapa aku tidak lagi memilikki perasaan?
Apa kabar hatiku yang pernah utuh? Ibunda akan merangkai kembali puing-puing yang pernah terbelah. Menjadikan mereka satu, kembali menciptakan dirimu. Sudahlah,lupakan saja semua duri yang pernah melukaimu. Suatu saat nanti mereka akan menghilang dimakan waktu, dan kembali dengan perisai bercahaya untuk melindungi dirimu dari duri-duri yang lebih tajam.
Hatiku yang pernah utuh. Sesungguhnya akulah yang paling mencintai dirimu. Kembalilah ke pelukanku, kembalilah ke rumahmu, di dalam diriku. Mari cepat, sebelum aku mati membeku...
0 Comments:
Post a Comment
<< Home