Langkah
By: Teraya Paramehta
Dia tinggal di salah satu apartemen di tengah-tengah ibukota. Dan dia berdiri di beranda. Siap melompat dari tingkat dua puluh lima. Jantungnya berdetak kencang dan tangannya dingin. Tubuhnya bermandikan peluh seperti orang yang habis bercinta tiga kali dalam satu malam. Dia percaya hidupnya akan berakhir malam ini. Hal yang sudah lama ingin ia lakukan untuk mendidihkan darahnya, bungee jumping. Hanya saja, kali ini dia melakukannya tanpa tali pengaman.
Diliriknya rolex di tangan kirinya. Pukul dua puluh tiga. Malam masih panjang dan tidak banyak yang ingin dilakukannya. Dia sudah menulis surat perpisahan untuk orang tuanya. Dia juga sudah menghabisakan semua tabungannya untuk hura-hura. Namun laki-laki metrosexual ini tidak lagi menemukan satu hal yang dapat dicintai dari dirinya sendiri.
Diambilnya foto seorang gadis yang sedang matang di usia dua puluh lima dari sakunya. Gadis itu beberapa tahun lebih muda darinya, dengan sepuluh kali lipat rasa cinta yang menggelora untuk gadis itu di dalam jiwanya. Gadis itu sedang bermain air di pantai. Tawanya lepas, terhias percikan ombak yang membeku di kilatan cahaya kamera. Lalu dia berdoa. Mengucap permohonan dan mengemas kerinduan untuk terakhir kalinya.
Maka dia pun menarik nafas panjang. Melirik ke titik-titik cahaya lampu mobil yang berlalu di bawah kakinya. Matanya bengkak dan merah karena tangis. Jantungnya berdetak kencang. Otaknya berpikir keras. Fokus!
Lalu dia bertanya lagi pada dirinya sendiri; haruskah?
Ya, harus! Jawabnya dalam hati. Lalu bagian otak yang menyimpan memori dipaksa untuk mengilas balik kehidupannya.
Ya, harus! Jawabnya dalam hati. Lalu bagian otak yang menyimpan memori dipaksa untuk mengilas balik kehidupannya.
Lihat dia di usia satu tahun, hidup dalam balutan busana balita rancangan designer ternama. Lihat dia di usia lima tahun, bermain di taman kanak-kanak berkualitas tinggi. Lihat dia di usia sepuluh tahun, juara kelas di sebuah sekolah dasar swasta yang mahal. Lihat dia di usia lima belas, jatuh cinta pada teman sekelas. Lihat dia di usia dua puluh lima tahun, mengerti arti cinta.
Lihat dia sekarang. Anak orang kaya. Hidup berlimpah harta. Gaya hidup yang berbahaya. Memakan habis dirinya. Ini bukan puisi, bila engkau mengiranya. Saat ini, detik ini. Dia berdiri di ambang nyawa. Jurang pemisah antara kehidupan dan kematian. Tepat di hadapannya ada sebuah jembatan kecil yang akan mengantarnya pada kehidupan berikutnya. Akankah dia melaluinya?
Hanya tinggal melangkahkan kaki dari beranda lantai dua puluh lima ini. Dia menarik nafas panjang lagi. Menahannya dalam-dalam seakan tahu bahwa kesempatannya untuk menikmati polusi ibukata hanya tinggal sekarang ini. Hanya tinggal satu langkah lagi, dan semuanya tamat. Hidupnya tamat. Nafasnya tamat. Detak jantungnya tamat. Otaknya tamat. Tagihan kartu kreditnya tamat. Migren di kepalanya tamat. Mabok-maboknya tamat. Cintanya tamat.
Ada apa dengan kata terakhir? Cintanya tamat. Ini dia yang sesungguhnya ingin dia habisi. Cinta yang kian menggerogoti tubuhnya sampai hampir habis. Dia merasa betapa aneh sebuah perasaan yang selama ini ia anggap konyol dapat membunuhnya perlahan-lahan dengan sangat menyakitkan. Maka dia memilih jalan pintas. Terbang dari lantai dua puluh lima. Terbang, bukan loncat. Kenikmatannya akan seperti bungee jumping. Hanya saja tidak ada tali pengaman, tidak ada kolam berenang atau bantal empuk sebagai sasaran. Hanya ada pikiran kacau dan jantung yang berdetak kencang. Cara yang sangat cocok untung mengakhiri jiwa seorang adrenalin junkie.
Sudah berkali-kali dia berpikir keras. Entah tentang apa. Apakah dia ragu? Mungkin. Dia masih berperang. Alam bawah sadar dan pikiran pesisimisnya terus berbicara. Dan kali ini hatinya berbisik, menggumamkan nama gadis yang fotonya kini berada dalam genggamannya.
Lalu air matanya menetes. Lalu dia berkata; sudahlah. Dan dia mengambil langkah itu. Dia terbang ke malam lepas. Melaju bersama tarikan gravitasi. Sesaat terkilas kehidupannya.
Zap! Dia merasa berada dalam pelukan ibundanya. Hangat dan nyaman. Hari pertamanya sebagai manusia.
Zap! Lalu dia melihat dirinya. Terayun naik dan turun dalam sebuah roller coaster. Saat ini dia tengah berusia sembilan tahun.
Zap! Kemudian dia melihat rumahnya. Dan ada ayahnya yang sedang memberinya hadiah ulang tahun yang pernah diidam-idamkannya. Sebuah snowboard.
Zap! Kemudian dia melihat dirinya yang tengah remaja. Bersama pacar pertamanya.
Zap! Kemudian dia melihat saat dia diwisuda. Gelar sarjana dengan predikat cum laude.
Zap! Kemudian dia melihat gadis itu.
Zap! Kemudian dia melihat aspal jalanan.
Lalu anda akan mendengar bunyi “BRAK!”, saat tubuhnya menabrak mobil yang sedang melintas. Tubuhnya menghancurkan kap dan menghancurkan kaca mobil itu.Tubuh itu terpelanting ke kanan, lalu terlindas sebuah truk gandeng. Kemudian anda akan mendengar bunyi “Cret!” bagaikan cicak terinjak yang tidak ingin anda dengar seumur hidup anda.
Akhirnya semuanya tamat. Hidupnya tamat. Nafasnya tamat. Detak jantungnya tamat. Otaknya tamat. Tagihan kartu kreditnya tamat. Migren di kepalanya tamat. Mabok-maboknya tamat. Cintanya tamat.
Maka demikianlah tamatnya cerita ini.
Tapi tunggu dulu!
Dia masih berada di situ. Di sebuah apartemen ternama ibukota. Lantai dua puluh lima. Kini tengah tertidur nyenyak di atas kasur spring bed dan bantal bulu angsa. Sesekali dia mengeluarkan suara mendengkur. Tangan kanannya tengah memegang brandy dan tangan kirinya yang berjam rolex tetap memegang foto gadis dengan tawa lepas itu. Matanya masih bengkak dan tubuhnya masih bermandikan peluh.
Rupanya langkah yang diambilnya bukan membawanya melewati jurang kehidupan. Bukan satu langkah penting bak seseorang yang sedang bungee jumping. Bukan langkah terakhir dalam hidupnya yang sedang berayun diantara tiang hidup dan mati. Bukan langkah yang pasti, tapi sangat berarti.
Langkah yang diambilnya adalah langkah mundur.
1 Comments:
canggih.. love it... :)
Post a Comment
<< Home